Sabtu, 23 April 2011

Puisi - puisi

SETELING OF CYNICAL
Kepada: Dosen Kiler
Senyum sang rival adalah sebuah somasi
Bernada sarkasme
Senyum sang rival bukanlah gesag
Dari cahaya rekah langit
Rival dalam senyum hanya otoriter seteling
Senyum dalam rival sebatas rona cynical
Yang menggunung
Rival adalah jembatan saraswati
Yang mendefinisikan aku sebagai jiwa lembek
Boleh saja rival memandangku sebagai jiwa kerdil
Tapi rival tak berhak menghujaniku
Dengan vista bernada cinycal
Karena aku tak mau dipermalukan sebagai tokoh komedi picisan
Di balik air mata aku punya sastra penadahnya
Aku bisa bersarkasme lebih tajam dari cynical smile-mu
Boleh kau jadikan seteling sebagai revolver
Tapi aku bukan sekedar pujangga yang terkapar hina
Di balik diamku ada sugesti sastra,
Untukmu ripal..sebuah somasi terakhir!
Kau beri aku cynical…
Berarti kau injak setelingmu sendiri
#Insiden , 26 Maret 2000

TOGA

Ada senyum kemenangan
Ada tangis keharuan dan ceria kepanjangan
Lulus, lulus, lulus…
Sampai lemas hati mengelus kata
Yang begitu halus, terbayang realita kerja
Menanti di depan mata
Nalar yang biasa bergelut
Dengan teori dan filsafat kini diakhiri
Topi toga yang merangkai kata wisuda
Selamat tinggal kampus!
Selamat tinggal pak dosen dan bu dosen
Selamat tinggal obsesi sarjana
Kini lahir peran alumnus bertoga sukses
Toga, toga, toga…
Ada merana di balik kemenangan
Sepuluh tahun jadi tenaga sukwan
Toga, toga, toga…
Ada kecewa di balik keharuan
Minimal sedia sekian jeti erpe sogokan
Toga, toga, toga…
Lepas toga bingung kerja
, 2001

CATATAN BULAN PURBA
By: Lilis Ganesti
Setahun lalu kulihat gerhana total
Menepis payung bumi nan kelam
Hingga saujanaku merintih
Didera lara atas cinta yang tlah purba
Setahun lalu bulan purba
Menepis lazuardi senja
Menghitung tiga butir gemintang
Di atas kepedihan dua dara
Yang pedih akan siksa dan…
Yang pedih akan dendam lama, #Episode cinta, 2001







DIBAWA GELOMBANG
Karya: Sanusi Pane
Sumber: Madah Kelana
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad.
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi, yang kecil amat.
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun.
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.




SENJA DI PELABUHAN KECIL
Karya: Chairil Anwar, 1946
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang seerta temali, kapal, perahu tidak berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam
Ada juga kelapak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap








IBU KOTA SENJA
Karya : Toto Sudarto Bachtiar
Sumber: H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berbelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengurai dan layang-layang membara di langit barat daya
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia
Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sedrhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dini hari
Serta di keabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam panghidupan sehari-hari, dalam kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Serta anak-anak berenang tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layang-layang senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa
Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diliputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan nafas bebas lepas
O, kota kekasih setelah senja
Kota kediamanku, kota kerinduanku





PADAMU JUA
Karya: Amir Hamzah
Sumber: Nyanyian Sunyi
Habis kikis, segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu Seperti dulu
Kaulah kandil kermerlap
Pelita jendela di dalam gelap
Melambai pulang perlahan
Satu kekasihku Aku manusia
Rindu rasa Rindu rupa
Di mana engkau rupa tiada suara ssayup
Hanya kata merangkai hati
Engakau cemburu, engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Saying berulang padamu jua
Engkau petik menarik angin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranmu
Matahari bukan kawanku

ENGKAU MENUNGGU KEMARAU
Karya: Abdul Hadi
Di guest house
Engkau menunggu kemarau
Hari hampir malam
Membersihkan pelabuhan
Sebelum engkau berdiri pergi
Di langit lembayung terdengar suara awan
Bahwa rawan sudah kau siapkan
Bahwa kesal sudah kau diamkan

SAMAR-SAMAR
Karya: Abdul Hadi
Ada yang memisahkan kita, jam dan dinding ini
Ada yang memisahkan kita, bumi bisik-bisik ini
Ada. Tapi tak ada kucium wangi kakimu sebelum kau pergi
Tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri




ANGIN MENDESIR LAGI
Karya: Abdul Hadi
Angin mendesir lagi
Hampir mengantuk
Ada sepi
Berbisik di dahan-dahan pohon
Lagi tahu, gerimis turun
Di luar kamar yang tembaga
Engkau bergetar karena musim
Cermat dalam kata
Dan tahu ada yang tiada
Bangkit di jendela
Dan mungkin senja
STANZA
Karya: W.S. Rendra
Penerbit: Pustaka Jaya, 1994
Ada burung dua, jantan dan betina
Hinggap di dahan.
Ada daun dua, tidak jantan tidak betina
Gugur dari dahan
Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua, pergi ke selatan
Ada burung, daun, kapuk, angin dan mungkin juga debu
Mengendap dalam nyanyiku
KANGEN
W.S. Rendra
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau tak akan mengerti segala lukaku
Karna cinta tlah sembunyikan pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan
Engkau telah menjadi racun bagi darahku
Apabila aku dalam kangen dan sepi
Itulah berarti
Aku tungku tanpa api








MALAIKAT DI GEREJA ST JOSEF
By: W.S. Rendra
Kumpulan puisi “Ke altar dan sesudahnya”
Di Gereja St Josef
Tanggal 31 Maret 1959
Di pagi yang basah
Seorang malaikat telah turun
Seorang malaikat remaja
Dengan rambut keriting
Berayun di lidah loncenng
Maka sambil membuat bahana indah
Dinyanyikannya masmur
Yang mengandung sebuah berita
Yang bagus
Dan kakinya yang putih indah
Terjuntai





SINAR BINTANG
By: Sutan Takdir Alisyahbana
Tebaran Mega, 1996
Senja turun , kekasihku!
Perlahan-lahan gelap merayap di bumi
Pohon yang jauh menjadi kabur
Dan menggelap segala warna.
Bertambah kelam rupa bayangan
Dan menepislah segala baris
Letih lesu unggas di sawang mengepak sayap
Makin rapat senja berjalin
Makin mesra rasa di hati
Kenangan melayang jauh tiada tertuju
O, kekasih, alangkah sunyi sepi seluruh bumi!
Segala mengabur, segala menyatu
Pilu seseni ini belum pernah terasa
Di langit senja menjelang bintang takut berani
Jauh hingga berkelip sinar di cakrawala
Mendalam, mendalam malam!
Biar segala bersatu menghitam di bumi
Beta hendak menengadahkan kepala ke langit terbentang,
Beta hendak menyambut bintang bersinar di kalbu
Ya, ya demikianlah kekasihku!
10 Mei 1935
CINTAKU JAUH DI PULAU
Chairil Anwar “Deru campur debu”
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis , sekarang iseng sekarang.
Perahu melancar, bulan memancar
Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut tenang, tapi terasa
Aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja”.
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau
Kalau ‘kumati, dia mati iseng sendiri,



KREMATORIUM MATAHARI
Soni Farid Maulana
Mendengar lalat, berdzikir di darat sapi
Di pasar, kucing mengorek tong sampah yang terguling
Tak ada tulang ayam selain bau manusia yang pergi
Dan aku terluka oleh lipstick di bibirmu!
Di berikut perjalanan. Jauh di keheningan hutan
Aku mendengar batu pecah di dasar sungai. Di dasar
Hatiku, mengapa dia yang selalu kutempuh? O, belon
Dan baja di kota, menandai status kehormatan
Dan aku terbuka oleh lipstick di bibirmu
Mekar dalam meja kantor-kantor. dalam kertas perjanjian
Menyeni TV bernyanyi. Menguatkan bau manusia yang pergi
Kau perabukan di tabung hair-spray tanpa dosa dan tuhan




SEBAB DIKAU
Amir Hamzah; Nyanyian Sunyi
Kasihan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
Hidup seperti mimpi
Lalu lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sadar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di latar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra-
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau dketok terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang mengarak sajak


PERMINTAAN
Muhammad Yamin
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku mulai tertabur
Di mana ombak sembur menyembur
Membasahi barisan sebelah pasir
Di sanalah hendaknya aku terkubur





RENDEZVOUS
Taufik Ismail
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
“Saya sudah mengetuk-mengetuk
Pintu yang lain” katanya
“Tapia amat heran
Mereka berkali-kali menolakku di ambang pintu”
Kini kami beratus ribu
Mengiringkan langkah sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan semakin cepat
Semakin dasyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu


BERDIRI AKU
Amir Hamzah
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau menyusuri puncak
Berjuang datang ubun terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengepas emas
Hari ke gunung meuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengarak corak
Elang luka sayap tegulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mengecap hidup bertentu tuju

NYANYIAN ORANG-ORANG TERLUKA
Safari Nurzaman
Di tengah hujan dan badai
Seorang bocah lelaki mendaki malam dengan bugil dan gigil
Ia memanggil nama negerinya terbata-bata
Ia terjatuh dalam lapar dan ketunaan
Bapak ibunya telah tiada terbakar kota ini
Bocah tumbuh di tengah malam
Mengisi hidup di antara kegelapan
Ia sudah lupa tentang tangis dan janji manis
Ia adalah definisi dosa-dosa mereka
Di reruntuhan gubug orang membumi
Seorang gadis cilik membasahi ratap dengan air mata
Mencoba mengingat siapa dirinya
Padahal langkahnya masih jauh ke tepi dunia
Dan ia terlalu polos menelusuri belantara hidup
Tanpa apa-apa, tanpa siapa-siapa
Kini ia tak perduli pada hukum kehidupan
Pasal dirinya telah hilang sudah
SAJAK
Rachmat Djoko Pradobo
Suatu hari kita bertemu
Di mana tapi,
Di alam nyata atau di alam mimpi
Tapi apapun terjadi
Kau selalu dalam hatiku
Aku rindu kata-katamu
Yang kau bungkus dalam kelembutan sutra
Adalah senyummu yang kau hanyutkan
Dalam alir sungai sajak- sajakmu
Apakah kau pun rindu padaku
Akupun tak peduli
Aku percaya kau pun selalu menyelam
Dalam denyut nadiku yang
Mengalun dalam sungai pikirku
Tapi, sayang
Lama tak berdenyar senyummu sutra
Lewat kristal-kristal katamu nyala
Yang berdenyar-denyar cemerlang
Yang selalu kurindu terngiang-ngiang
SUMPAH KLASIK
By: Lilis Ganesti, 2000
In: Serial Bulan Purba
Aku insyapi, bulan itu bukan milikku
Aku sadari, bulan itu takkan pernah kumiliki
Dan aku yakini, bulan itu kan tetap mengitari malamku
Aku sumpahi bulan itu kan abadi
Di langit rekahku,
Dan dia kan terus dan terus tersiksa, karena…
Aku takkan pernah memilkinya
Aku akan bahagia
Andai dia tetap tergoda demi ketersiksaanku
Dan demi dendam rinduku
Kuingin bulan terobsesi kenangan
Hingga kuyakini cahaya klasik itu
Terus terjatuh di hatiku





TENTANG MALAM
Episode serial bulan purba
Ada kalanya senja datang
Bersama gemintang
Ada kalanya malam tiba
Bersama bulan purnama
Dan ada kalanya pagi hilang
Bersama titik baying
Senja datang karena ada siang
Malam tiba karena senja kecewa
Pagi hilang karena siang melenggang
Dan cinta singgah
Ada kalanya bersama suka
Pergi lagi karena
Ada kecewa


Edisi 2000 Lies Ganesti



Halo-Halo Bandung
Halo-Halo Bandung ibu kota periangan Halo-Halo Bandung kota kenang-kenangan sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau sekarang telah menjadi lauttan api maribung rebut kembali.
ISMAIL MARJUKI
NAMA: FITRAN RENDRA LUGINA
KELAS:2 B
UMUR:8
SEKOLAH:SDN GANEAS 1
ORANG TUA:YUDI DAN LILIS


I HEART YOU
Kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu
Selalu peluhpun menetes tiap dekat kamu
Kenapa salah tingkah tiap kau tatap aku
Selalu merinding romaku tiap kau sentuh aku
Kenapa otak ku beku tiap memikirkanmu
Selalu tubuhku lunglay tiap kau bisikan cinta…………
Reff:you nome sowell
Gril,I need you
Gril,I love you 2kali baca
Gril,I heart you
Taukah kamu saat kita pertama jumpa
Hatiku berkata padamu ada yang berbeda
Taukah sejak kitasering jalan bersama
Tiap jam,menit,detik ku hanya ingin berdua
Taukah kamu ku takan pernah lupa
Saat kau bilang punya rasa yang sama
Ku tak menyangka aku bahagia ingin ku peluk dunia kau izinkan aku tuk dapatkan rasakan cinta
Gril,I need you
Gril, Ilove you 2 kali baca
Gril, I heart you
Hatiku rasakan cinta yang kuat ku salah tingkah I no me sowell you no me sowell you hert me gril I heart you blak
I need you love you ah ah ah gril I need you I love you I heart you bye bye bye
Back to reff
Tak ada yang bisa memisahkan cinta waktu pun takan tega…. Kau dan aku bersama selamanya.


NAMA:LINGGAR SITI RAHAYU
KELAS: IV B
UMUR:11 TAHUN
SEKOLAH:SDN GANEAS 1

KU TETAP MENANTI
Meski diriku bukan milik mu namun hati ku tetap untuk mu berjuta pilihan di sisiku takan bisa mengganti kan mu. Walau badai menerpang cinta ku takan ku lepas berikan ke sempatan untuk membuktikan ku mampu jadi yang terbaik dan masih jadi yang terbaik .
REEF:Ku akan menanti meski harus penantian panjang ku akan tetap setia menunggumu ku tau kau hanya untuk ku biarlah waktupun habis oleh penantian ini hingga kau percaya betapa besar cintaku pada mu ku tetep menanti .walau badai menerpang cinta ku takan ku lepas berikan kesempatan untuk membuktikan ku mampu jadi yang terbaik dan masih jadi yang terbaik .Kuakan menanti meski harus penantian panjang ku akan tetap setia menunggumu ku tau kau hanya ha….nya untukmu ……biar lah waktupun habis oleh penantian ini hingga kau percaya betapa besar cinta ku pada mu kutetap menanti cintaku padamu ho oooooooooo ku tetap menanti.
Back to reef

Carita Rakyat Ganeas Jeung Sabudeureunna

WANGSIT KABUYUTAN
Wanoja anu katelah Nyai Pamacan teh nyaeta hiji sinatria anu kasohor ku kaluhungan elmuna. Sajaba ti kitu eta wanoja teh mibanda rupa hade anu matak tetenjoeun. Saban poe Nyai Pamacan ngadon mujas medi di hiji pamidangan nu katelah Kabuyutan. Sababna eta tempat disebut Kabunyutan,lantaran baheulana mangrupakeun tempat nyiar elmu para karuhun eta wewengkon. Alatan kitu katelah tempat buyut atawa “Kabuyutan”.
Hiji mangsa Nyai Pamacan keur ngadon tapekur di luhur batu rempan, bray kadua panonna beunta. Meunang sakedapan manehna ngahuleng ngaraga meneng. Pok nyarita ka diri sorangan bangun anu alum pisan
“.Aeh aeh,naha kaula teu meunang ilapat. Pedah naon nya bet poekeun teuing?” Nyai Pamacan kurang kerung, teu talangke reup manehna pareum deui kalayan manco pisan. Sajeroning kitu sirahna ungut-ungutan kawas anu meunang bongbolangan. Korejat Nyai Pamacan ngorejat semu nu kaget .
“Bakal medal insun anu asalna tinu batu beulah? ah pamohalan”Nyai Pamacan kaciri rada rampang-reumpeung bangun anu linglung.
“Jadi anu bakal kapimilik ku kaula ayeuna lain keris sakti,numut keun wangsit…”Saacan Nyai Pamacan ngebatkeun ucapanna,kadenge sora orok ceurik mani atra pisan.
“Ea…ea…eaa….” Eta sora orok nu ceurik teh datang ti lebah kaler. Kuniang Nyi Pamacan cengkat , tuluy ngebat keun lengkahna ka lebah kaler. Breh di dinya manehna ningali cahaya dina beulahan batu, Nyai Pamacan ngalengkah antare naker ngadeukeutan batu anu ngaluarkeun cahaya. Barang geus deukeut tetela dina beulahan batu gede teh aya orok roroesan bari sakapeung ceurik bangun nu hayang di pangku.
Wangsit sajati ning wangsit, ieu meureun insun anu medal tinu beulah batu teh. jigana kalinuhunganna bakal ngaleuwihan keris sakti nu dipibanda ku kaula “kitu gerentesna Nyai Pamacan anu ngadadak ngaheruk meunang sakedapan, tuluy leungeunna ngagaramang rek mangku eta orok.
“Hiap kasep, juragan, hidep bakal di rorok tur diestukeun pisan”ucap Nyai Pamacan kalayan dareuhdeuh pisan bari ngarawu orok lalaki. Eta orok teh katenjona mani ngalempereng koneng tur pameunteu cahayaan .
Tapi kalayan teu disangka-sangka, harita hiji awewe anu buukna riringkiwikan nyabet eta orok tina rangkulan Nyai Pamacan. Barang dilieuk Nyai Pamacan apal pisan ka eta awewe the, taya lian nyaeta musuh bubuyutana anu mibanda pasifatan jail kaniaya.
“Naga Keling! Andika tong wani-wani ngaganggu eta orok, hiap ka dieukeun ku kaula rek dirorok!” Ucap Nyai Pamacan bari ngarontok orok. Awewe anu beungeutna pikagilaeun teh rikat nakis leungeun Nyai Pamacan bari tuluy nyikikik matak kukurayeun anu ngadenge.
“Hei Pamacan, ieu orok kudu jadi milik kaula! Ku kaula rek dibekelan elmu-elmu naga tur bakal nuluykeun kalinuhungan kaula”.
“Teu bisa! Eta orok mangrupakeun insun nu nyandang wangsit kabuyutan kakawasaan kaula, jadi samemeh andika hasil maksud lengkahan heula bangke kaula!” Kecap Nyai Pamacan bari ngarawel buuk Naga Keling. Naga Keling ngabangkieung teu bisa nahan kasaimbangan, atuh orok anu beureum keneh teh ragrag tina leungeun naga keling, tuluy eta orok teh gugulingan di tempat nu ayeuna diaranan “Ciguling”. Nyi Pamacan terus ngakalakeun Naga Keling nepika teu aya kakuatan, antukna Naga Keling ngabelesat ninggalkeun eta tempat Alatan geus kadeseh ku Nyai Pamacan.
Ti poe ka poe Nyai Pamacan ngurus orok beureum nu geus dianggap anak sorangan, rebun-rebun keneh orok teh dimandian titih naker. Kaayaan orok nu humanyir guyang getih teh sok dikumbah di hiji wahangan nu aya di sabudeureun kabuyutan kalayan sok ngadatangkeun bau humanyir nu ngalantarankeun cai walungan bau hanyir. Urang lembur geus pada nyaho, lamun wanci janari cai walungan kaambeu rada hanyir pasti Nyai Pamacan keur ngamandian orok. Alatan kitu urang lembur wetan mere ngaran lemburna “Cihanyir”, lantaran cai walungan nu ngaliwat ka lemburna saban poe sok kaambeu hanyir. Sanggeus dimandian orok teh sok dituuskeun dina batu rempan nu ayeuna disebut wewengkon “Panuusan”, Ari tempat ngagolerkeun orok nyaeta butu nu mangrupa kasur disebut nepi ka kiwari “Batu Kasur”.
Bewara yen Nyai Pamacan mibanda orok nu mangrupakeun wangsit ti kabuyutan teh mimiti nyebar. Pangeusi di sabudeureun eta lembur pada hayang nyaho ka orok anu medal tina beulah batu.
“Nyai , saha jenengan ieu ea teh?” Tanya salah saurang awewe anu milu ngalongok eta orok. Nyai Pamacan ngabelengeh imut bari nyarita.
“Puguh kuring oge bingung, rek diaranan saha ieu orok? Lantaran kaula can meunang ilapat keur mere ngarana” Walon Nyai Pamacan.
“Nya sawios, saayeunaeun mah urang namian Gan Ea” Ucap salah saurang,
“Gan Ea? Naon maksudna?” Tanya Nyai Pamacan semu nu hemeng.
“Nya..maksadna Juragan Ea, ngarah gampil sebat wae Gan Ea”
Barang ngadenge caritaan eta awewe Nyai Pamacaan seuri bari otakna terus mikir, dalah dipikir mah bener oge caritaan eta awewe teh . Orok asuhanna teh mimiti harita katelah bae Gan Ea. Ari jalma – jalma nu aya di sabudeureun eta tempat sok gehgeran hayang pada nyaho ka Gan Ea, kusabab kitu geus jadi kacapangan lamun rek pirajeunan nyaba ka eta lembur, majarkeun teh rek nyaba ka Gan Ea. Kusabab hayang kadengena merenah lila - lila eta lembur katelah “Ganeas”. Atuh lembur anu mangrupa wates Kabuyutaaan tempat cicing Gan Ea diaranan “Cibogo”asal dina kecap miboga nyaeta miboga Gan Ea. Numutkeun kanjeng pangeran Sumedang kapungkur lembur Ganeas teh hiji mangsa bakal jadi ibu kota kacamatan, tempat lahirna Gan Ea nyaeta kabuyutan hiji mangsa bakal jadi situ, alatan kitu mangsa kiwari wewengkon Cibogo mimiti loba nu urug, Wallahualam.
Dina hiji mangsa wanci keur haneut moyan, saperti biasa Nyai Pamacan geus manco nyanghareupan walungan leutik bari ngumbah keris, Gan Ea harita tibra dina batu kasur. Nyai Pamacan jongjon mapatkeun jajampean bari ngusap-ngusap keris saktina ku cai walungan. Tapi manehna kagareuwahkeun ku sahengna rahayat pilemburan nu ngaburudul rek nempo kaahengan nu cenah aya di lembur kulon, teu mikir panjang deui Nyai Pamacan tuluy milu ngabring ka lembur kulon jeung pangeusi lembur. Kaahengan nu nyata harita bener aya nyaeta aya cai sumur leutik nu teu puguh bijil jeung palidna, eta sumur teh bener-bener buntu. Nya mimiti harita lembur kulon teh katelah “Cibuntu” jajalaneun cai nu eheng tur pamohalan teu abus akal.
“Pasti kaahengan ieu teh jijieunan jalma sakti, lain jalma jore-jore” Pok Nyai Pamacan nyarita bari nitenan jalana cai nu aya dina logak mangrupa sumur nu caina buntu ngulikbek di dinya.
“Jigana lain sajalma-jalmana nu nyieun cai logak teh” Walon salah saurang rahayat nu sarua nenjo kaahengan.
Gebeg hate Nyai Pamacan ngagebeg, ngadadak kereteg hatena asa beda barang iget yen nu lain jalma sajalma jalmana mah nyaeta Naga Keling nu miboga kasaktian linuhung. Ras hatena inget ka Gan Ea nu keur sare tibra, teu talangke manehna cengkat muru ka padumukanna.
“Aeh.. aeh, ari Gan Ea ka mana?” Kecap Nyai Pamacan samar rampa, tuluy meuerumkeun kadua panona bari kekerenyeman, bray manehna beunta bari tuluy ngabelesat ka lebah kulon. Nyatana cai nu buntu teh jijieunan Naga Keling pikeun miceun salasah ti Nyai Pamacan sangkan manehna bisa ngiwat Gan Ea.
“Dagoan kaula siah Naga Keling! Kaula moal taluk ka andika” ceuk Nyai Pamacan bangun nahan amarah anu rosa, manehna terus ngebat keun lengkahna muru padumukan Naga Keling musuh bubuyutanna.
Barang geus tepi ka hiji walungan nu aya dihandapeun gunung, Nyai Pamacan ngarandeg lantaran ningali oray badag keur ngojay.
“Beunang siah Naga Keling, kiwari andika keur ngawujud jadi oray”ceuk Nyai Pamacan bari ngadodoho oray naga hideung leteng anu badag.
“Rasakeun siah keling! Andika kudu taluk ka kaula!” Nyai Pamacan ngagorowok bari ngetig hulu oray nepi ka baloboran geutih. Oray badag teh tuluy ngalacat naek ka darat, langgeor ngalanggeor ka luhur gunung gancang pisan di udag ku Nyai Pamacan. Urang lembur anu kabeneran nyaksian pating sarorak atuh, lantaran oray naga anu jahat teh aya anu ngetig. Ti saprak kitu walungan handapeun gunung teh katelah bae “Sentig” lantaran Naga Keling di ketig huluna ku Nyai Pamacan di dinya.
Nepi ka puncer gunung, Naga Keling ngagibrigkeun awakna. Ngajanggelek jadi awewe anu pikasieuneun, cikikik manehna seuri ngeunaheun pisan.
“Kunaon Pamacan? Andika bet kawas nu linglung nganiaya kaula”
“Montong loba carita! Kadieukeun Gan Ea asuhan kaula!”
“Gan Ea moal bisa kabawa ku andika lamun can ngabebengkang”
“Kaula moal sieun, sok ayeuna adu jajaten!” ceuk Nyai Pamacan
“Andika geus kumawani nantang kaula di tempat kakuasaan kaula, lantaran kitu samemeh urang tarung, kaula rek ngabewarakeun heula ka widia balad kaula” tuluy Naga Keling luncat ka dahan kai nu badag kacida bari susumbar kalayan pinuh amarah anu ngabebela.
“Hei warga gunung Naga Keling! Kaula poe ieu rek adu jajaten jeung si Pamacan nu ngageugaeuh Kabuyatan… Kaula hayang di saksian! Alatan kitu ieu gunung ku kaula rek diaranana “Pajaten” Barang rengse Naga Keling susumbar, naha atuh oray naga baradag ting laleor ngurilingan tempat anu rek dijadikeun pangaduan jajaten. Harita keneh gunung hara-haraeun teh geus boga ngaran “Pajaten” anu haratina pangaduan jajaten.
Ti poe ka poe dua jawara awewe teh tarung patutunggalan di Pajaten. Lantaran Naga Keling make jalan licik antukna Nyai Pamacan mimiti kadeseh. Samemeh Nyai Pamacan ngaluarkeun jurus pamungkas nyaeta ngarubah wujudna jadi macan bodas, janggelek hareupen Naga Keling ngajanggelek saurang nonoman anu pangawakanna jangkung badag tur dedeganna gagah. Eta nonoman gandang teh mencrong seukeut ka Naga Keling bari nyarita.
“Andika tarung sacara licik Naga Keling , piraku Nyai Pamacan di kepung ku wadia balad andika. Numutkeun kaula adu jajaten ieu lain tarung patutunggalan” ceuk eta jajaka bari mencrong ijid ka Naga Keling.
“Saha andika? Naon urusanna kumawani ngahalangan kaula?” Tanya Naga Keling bari taki-taki rek narajang deui ka Nyai Pamacan.
“Kaula jaka Gumbara, anu ngageugeuh ieu lembur”. Barang ngadenge pangakuan nonoman nu ngaran Jaka Gumbara Naga Keling nyakakak seuri.
“Montong loba omong, kaula oge nyaho andika mah budak bolostrong” Jaka Gumbara ge teu nunda-nunda deui maksudna pikeun nulungan Nyai Pamacan. Harita keneh manehna ngaluarkeun aji halimunan, ngagibrigkeun awakna kalayan wujudna ngaleungit. Tapi hareupeun Naga Keling halimun anu mangrupa haseup bodas ngagulung tuluy ngabuleun Naga Keling. Naha teu sakara-kara Naga Keling ngawujud jadi oray naga gede tur hideung. Tuluy eta haseup teh mawa Naga Keling ka jero guha pamujaan Naga Keling, harita keneh Naga Keling teu bisa ojah lantaran awakna kabulen guha tur rarasaanna leungit kakuatan jeung kasaktiana.
Tetela Jaka Gumbara teh lain jalma jore-jore, manehna bisa ngaleungitkeun ajian tur kasaktian Naga Keling . Tisaprak harita oray naga jahat teh teu bisa ojah deui tina padumukan aslina. Dina awak Naga Keling kaluar sesa kakuatan nu merebey mangrupa cai warna koneng, cai teh kaluar ti guha ngalir ka lembur lebah kulon nu ayeuna katelah “Cikoneng”.
Kocapkeun Nyai Pamacan nu awakna lungse ngadadak buringhas ngadenge pangakuan rahayat gunung Pajaten yen Gan Ea teu aya di dinya, tapi disumputkeun ku Naga Keling ka wewengkon pakidulan. Nyai Pamacan tagiwur hatena teu bisa ngimpleng ayana Gan Ea,
“Teu kudu bingung Nyi! Hayu ku kaula dianteur neang Gan Ea ka pakidulan, kabeneran kaula boga karuhun di gunung Rengganis, jadi kaula nyaho tempat ngalalana di pakidulan”
“Hayu atuh urang sorang ayeuna keneh” Walon Nyai Pamacan bari langsung ngabelesat ka lebah kidul kalawan dituturkeun ku Jaka Gumbara. Lalampahan dua nonoman teh nepi ka wewengkon Gunung Rengganis, nyukcruk jalan nu ngebat panjang tapi weleh Gan Ea teu aya laratana. Maranehna balik deui mawa kapeurih ati, hanjakal teuing orok kasep ngalempereng koneng teh bet tilem suwung teu aya patilasana
“Na..di mana atuh Gan Ea?” Gerentes hate Nyai Pamacan, ras inget kana ucapan Naga Keling yen lamun menehna teu bisa miboga Gan Ea tangtu Nyai Pamacan ge ulah miboga, seak hatena beuki nyeak ambekana ngahegak. Ambek kapegung tur ijid ka Naga Keling nu geus ngalejokeun dirina. Di satengahing perjalanan Nyai Pamacan meupeus keuyang ka diri sorangan, teu antaparah harita keneh ngumpulkeun kakuatan dina leungeun tuluy kaluar cahaya ngempur. Kalawan ku tanaga jero diteumbragkeun eta cahaya nu datangna dina leungeun kana gawir taneuh gigireunna. Atuh eta taneuh teh mungsrat ka mana-mana tur ngaluarkeun sora handaruang naker. Tapak taneuh nu ditembrag teh jadi gorowong, atuh katelah we eta lembur teh “Gorowong”.
Jaka Gumbara nu marengan Nyai Pamacan ge meni helok ningali kakuatan Nyi Pamacan nu mudal tina leungeun Nyi Pamacan, kakuatan didasaran rasa ambek nu kapegung, tuluy Jaka Gumbara ngajak buru-buru indit. Nepi ka hiji tempat Jaka Gumbara ngajak Nyai Pamacan bubuara niiskeun hate di eta tempat. Tempat eta teh katelah “Pabuaran” sabab mangrupa tempat bubuara Nyai Pamacan jeung Jaka Gumbara sawatara waktu.
Dina lalakon pangumbaraan Jaka Gumbara jeung Dewi Pamacan tuluy ngumbara ka sawatara tempat nu aya di wewengkon padumukana, Jaka Gumbara ngajak ka lebah kaler nyaeta pakampungan nu can kasaba ku rahayat,
“Nyai, itung-itung titirah hayu urang nyaba ka lembur kaler! Sugan meunang ilapat ngeunaan Gan Ea” Harita Jaka Gumbara ngajak ka Nyai Pamacan.
“Hayu, sugan kaula bisa panggih deui jeung orok kameumeut kaula nu can kungsi diaranan, deudeuh teuing anaking..” Nyai Pamacan calimbab nuturkeun Jaka Gumbara ka lebah kaler.
Jajalaneun nu kaliwatan ku dua nonoman teh mangrupa tegalan nu ngebat panjang pisan. Lantaran ku panjangna eta tegal mimiti harita ku Nyai Pamacan tempat eta katelah “Tegal Panjang”.
Nepi ka hiji kebon anu tiiseun Jaka Gumbara ngarandeg bari ngalieuk ka Nyai Pamacan.
“Nyai, ieu tempat paniisan kuring teh”
“Aeh gening ieu mah kebon lain lembur” Tempas Nyai Pamacan.
“Puguh eta Nyai, ti mimiti ayeuna ieu kebon teh rek dibukbak dijieun lembur” Walon Jaka Gumbara bari ngabaladah nuaran tatangkalan nu aya di eta kebon.
“Lamun kitu mah ieu tempat teh urang aranan we Lembur Kebon” Ceuk Nyai Pamacan, tungtungna eta lembur teh katelah “Lembur Kebon” .
Acan saminggu Nyai Pamacan aya di Lembur Kebon, wangsit ti Kabuyutan kagambar dina implengan, ilapatna ngeunaan Gan Ea nu geus aya di hiji tempat kalawan hiji mangsa bakal jadi tameng nagara. Harita keneh Nyai Pamacan menta ijin ka Jaka Gumbara pikeun balik ka Kabuyutan.
Samemeh Nyai Pamacan indit Jaka Gumbara pasini janji jeung Nyai Pamacan.
“Kaula rek nitip janji ka andika Nyai, lamun jaga urang pareng ngajadi kaula janji rek ngawangun karaton leutik di puseur lembur keur anjeun, Nyai”. Ngadenge ucapan Jaka Gumbara, Nyai Pamacan beuki calimbab campur atoh. Terus manaehna ngebatkeun lampah ka Kabuyutan.
Barang nepi ka Kabuyutan, Nyai Pamacan tuluy manehna ngimpleng ku kabatinan di luhur batu kasur nu sok dipake ngagolerkeun Gan Ea. Tetela Kabuyutan teh mere wangsit yen Gan Ea tilem moal jadi asuhan Nyai Pamacan, tapi dipercayakeun ka saurang gegeden lantaran jaga Gan Ea bakal jadi tameng dada nagara nu linuhung elmu kaceluk kaawun-awun kawentar ka janapria.
Nyai Pamacan ge meunang wangsit pikeun nyampurnakeun diri inyana kudu miceun elmu pamacan supaya jaga mun geus mulih ka jati puput yuswa bisa sampurna. Bray Nyai Pamacan beunta teu ngarti kana wangsit nu datang harita.
“Kumaha carana kaula miceun elmu pamacan?” Rumasa inyana geus ngulik elmu anu matak ngabalukarkeun diri cilaka, Nyai Pamacan nyiar elmu pamacan alatan hayang nandingan elmu Naga Keling sabab manehna sok kadeseh ku elmu oray naga. Tapi teu mikir balukarna Nyai Pamacan kudu mulangkeun elmuna kucara ngawujud jadi macan bodas, tur moal bisa hirup kawas jalma ilahar.
Hate Nyai Pamacan Ngaleketey, tuluy manehna ingkah ti eta tempat lumpat sakatepina nepi ka hiji walungan, brek manehna deku teu ojah nyanghareupan cai walungan nu ngagulidag, teu kawawa ku kasedih Nyai Pamacan ngadon nyegruk di sis walungan, cai panon teu suda-suda terus ngareclakan kana cai. Jalma-jalma anu pareng ningali sok pirajeunan milu sedih ngarasakeun kana kapeurih ati Nyai Pamacan anu kaleungitan Gan Ea tur kudu mulangkeun elmu pamacan. Meunang sababaraha poe Nyai Pamacan ngadon ngumbar cimata di dinya. Lantaran kitu eta walungan teh katelah “Cisuda”, sabab harita jadi tempat ngumbar cimata Nyai Pamacan anu kaluar teu suda-suda.
Kasedih kingkin Nyai Pamacan teh teu bisa kagambarkeun , antukna manehna geus siap narima takdir, harita keneh ngagibrigkeun awakna. Janggelek jadi macan bodas badag pisan, ngagaur handaruang naker. Teu sakara-kara eta maung teh ngaluncatan Cisuda, terus ngajugjug ka Kabuyutan. Antukna jadi pangeusi Kabuyutan anu asli, ngumpul jeung karuhun-karuhunna nu kungsi mere elmu pamacan ka dirina, kabuyutan asal kecap dina tempat buyut/karuhun baheula.
Kocapkeun Jaka Gumbara nu geus ngawangun karaton leutik di puseur lembur nu ngaran Ganeas, Harita inyana ngadadak tilem teu aya laratan sanggeus meunang beja yen Nyai Pamacan geus jadi pangeusi asli Kabuyutan. Karaton leutik di puseur Ganeas antukna leungit sacara ghaib, tapi dina mangsa Ganeas geus jadi lembur nu rame numutkeun sesepuh kadang kala kaahengan sok rajeun kaalaman ku jalma nu kawenehan nyaeta aya urang lembur nu teu pupuguh ningali karaton di tempat nu ceuk sepuh mah puseur Ganeas padahal eta tempat geus jadi balong leutik.Wallahualam.
Kiwari sabudeureun eta tempat diwangun mesjid kameumeut dina taun salapan puluhan, nu antukna sugesti karaton leutik lebur ku kaagungan Islam anu pinunjul. Pas pisan eta mesjid teh saestuna aya di puseur lembur matak nepi ka kiwari jadi puseur ibadah nu kudu diramekeun.
“Kok..kok..kok..”Numutkeun sepuh sok kadenge eces ungal isuk datangna ti mumunggang gunug Pajaten dina taun tujuh puluhan, rahayat sabagean percaya eta teh sora oray badag nu ngageugeuh Gunung Pajaten. Anapon ngaran Gumbara keur jalma nu pirajeunan ngelmu kabatinan tur boga indra kagenep geus teu asing deui. Numutkeun aranjeunan eta karuhun ghaib nu ngaran Gumbara teh ngageugeuh tur nalingakeun lembur Ganeas jeung Cikoneng gigireuna.
Baheula aya saurang inohong nu bisa medarkeun sajarah lemburna, inyana hiji santri wedel elmu nu dipikaserab katelahna “Eyang Jalam”, saurang pujangga nu sok pirajeunan nulis sajarah baheula tur miboga buku ramalan elmu nu bakal datang. Sugesti baheula di Kabuyutan aya embah haji putih jadi di eta lembur ulah aya nu jadi haji bilih inyana kaluhuran, salah sawiosna rehrehan eyang jalam nyaete Haji Alsa Usman kapaksa diungsikeun ka luar lembur saatosna munggah haji. Tapi nyatana sanes Haji Putih sebutanna aji putih inohong Sumedang nu kantos ngalanglang ka Kabuyutan.
Lalakon ieu mangrupakeun prosa lancaran dongeng sasakala Ganeas jeung wewengkon sabudeureunana numutkeun narasumber nu kahot tur direka ku pangarang. Saestuna sasakala Ganeas aya sababaraha versi. Salah sawiosna numutkeun sumber buku musium Sumedang “Ganeas” hartosna ganen tur koneas nyaeta titingalian kanjeng pangeran waktos ngajugjug ka Dayeuh Luhur tur ngalangkungan eta lembur, Nyata jeung henteuna? Wallahualam, aya oge nu nyaoskeun yen Ganeas asal kecap dina Juragan Beas, eta mah kumaha nu mapaes kecap wae.
“Saestuna teu aya nu uninga ngeunaan alam ghaib anging Allah SWT, anapon aya nu ngangken uninga eta jalma terangna mung sakedik pisan”Sakitu pedaran ti sim kuring, hapunten bilih aya anu teu sapagodos sareng pamendak ieu! Tujuan sim kuring taya sanes seja nyukcruk galur nu kapungkur mapay laratan nu baheula pikeun pangaweruh elmu sastra sunda, anu mudah-mudahan aya mangpaatna kanggo murangkalih sakola tur rahayat nu aus ku dongeng sasakala, (Lilis L. Rustandhi).
Narasumber: Bp. Bohim (sesepuh Ganeas, umur 85th)
Bp. Emo (almh), TTL: Sumedang,1929


NGABANDANG RONGGENG

Bapa Udel teh jalma beurat beunghar anu kaceluk di dusun Tarikolot Cibogo. Manehna boga anak lalaki hiji-hijina nu katelah Ujang Gareng, umurna kira-kira lima taun.
Hiji mangsa Jang Gareng ngaeh menta dikariakeun, sabab manehna geus hayang jiga batur diajar solat ka masigit. Atuh bapana nu katelah Juragan Udel teh mani cakah-cikih bakat ku atoh budakna sadar sorangan hayang dikariakeun.
Mangsa bulan Rayagung anu dianti geus cunduk. Saenyana bulan harita di Cibogo teh mineng pisan anu kawinan nanggap tayub, tapi rahayat leuwih panasaran kana tayub anu rek ditanggap ku Juragan Udel. Sarengsena nyunatan Jang Gareng, di buruan Juragan Udel geus nampeu panggung nu gede naker. Di luhur para nayaga geus mimiti tatabeuhan, anu lalajo beuki pating burudul. Obor anu nangtung geus mimiti diseungeut. Brul rombongan para jawara ahli bajidor ting laliud hareupeun panggung.
Kaayaan beuki haneuteun, anu lalajo geus nyeri beuheung sosonggeteun ngadogoan dikaluarkeun ronggeng. Komo para jawara jeung budak ngora mah, teu sirikna nghaokan nayaga jeung pupuhu rombongan maksa sangkan ronggeng buru-buru dibijilkeun.
Antukna opat urang ronggeng ditaekeun ka panggung, atuh anu lalajo beuki saheng. Aya nu midangdam muji-muji ronggeng tapi aya oge nu ngahaokan moyok dangdanan ronggeng, memang kitu kaayaan nu lalojo di pilemburan, najan ager-ageran dasarna mah manehna kahibur.
Beuki peuting anu lalajo beuki pajejel, acan kaciri marulang. Jigana mah kalah beuki betah hayang nuluykeun napi ka subuh. Basa wirahma geus mimiti laun aya saurang jajaka anu nerekel ka panggung milu ngigel jeung para jawara. Sareretan eta jajaka teh siga lain jawara sabab beungeutna teu borongongong tapi ngelempereng koneng tur dedeganna sembada.
Sakedapan anu lalajo oge rada olohok, sabab asa kakara manggih budak ngora kasep di lembur Cibogo. Teu lemek teu nyarek eta jajaka teh mangku si Leunyay ronggeng pangmencrangna, tuluy dibawa turun ti panggung. Anu lalajo meni helok, aya ku bageur eta jajaka ngolo Nyi Ronggeng kucara dipangku, teu cara jawara sejen ronggeng teh meni dijewang. Tuluy jajaka kasep nu mangku ronggeng teh nguliwed ka pipir, nu lalajo bati olohok mata simeuteun, nayaga pating rareret jeung baturna bari mesem.
Teu karasa wanci janari geus nyerelek ka subuh, nu lalajo geus teu kuat kutirisna angin subuh, waktu obor di panggung geus dipareuman nu lalajo teh birat ti tempatna tuluy marulang ka imah sewang-sewangan. Nayaga geus mimiti pating karuliat ngabatekan awak nu linu.
“Jalu, ari si leunyay ka mana?” Tanya pupuhu rombongan ka jajaka tukang nabeuh go’ong bari rurat reret nitenan katilu ronggeng nu keur ngaso.
“Apanan peuting dibawa mipir ku jajaka gandang, jigana si Leunyay betaheun dikeukeupan meureun” Walon si Jalu sangeunahna.
“Aeh ..aeh kamalinaan, apan ayeuna urang kudu langsung mulang ke peuting manggung deui di Ganeas, jig tareangan heula kudu kapanggih!” pupuhu rombongan marentah ka anak buahna bari tuluy gugulunu.
Mangsa maju ka beurang, si Leunyay ronggeng bahenol can kapanggih keneh, pupuhu rombongan bingung teu manggih tungtung. Antukna kuwu Semar jeung Juragan Udel marentahkeun rahayat pikeun maluruh ronggeng ka sawatara tempat.
Meunang dua poe laratan Nyi Ronggeng acan kapanggih. Dina poe katilu rombongan tukang ngala suluh ngalaporkeun bewara ka kuwu Semar yen di leuweung manggihan papakean Nyi Ronggeng nyaeta kabaya koneng nu herang. Atuh jalma-jalma pating burudul ka leuweung nu aya di tonggoheun Cibogo.
Kuwu Semar jeung nu aya di eta tempat nitenan baju lesang semu herang nu geus kumeul, eces pisan eta baju si Leunyay nu dipake manggung. Sabot kitu kadenge Jang Hadi nyorowok ti beh tonggoh.
“Euy..tenjo gera di dieu aya tulang mani galede!” Bral rombongan Kuwu Semar nanjak ka beh tonggoh rurusuhan. Barang breh teh enya we di sakuliah eta tempat teh loba tulang anu amalayah. Lain meueusan Pa Kuwu ngagebegna.
“Yakin ieu mah tulang jalma, kawas anu dirogahala ku sato buas” Kocap Kuwu Semar bari gogodeg. Pok Jang Hadi nempas omongan Pa Kuwu.
“Lain dirogahala deui eta mah, dihakan dagingna nyesa tulangna”. Kuwu Semar ngahuleng sakedapan, anu sejen tuluy ngoer-ngoer sesa tulang taleng anu geus ucutan bari nyarekelan punduk kawas anu kukurayeun.
Kuwu Semar ngajugjug ka imah aki kuncen nu teu jauh di dinya, tetela aki kuncen nu masagi elmu kabatinana mere katerangan pikangeneseun patali jeung kajadian peuting harita, tuluy we Kuwu Semar ngajugjug ka imah juragan Udel nyaritakeun hal nu geus kapanggih di leuweung tonggoh.
“Ku kituna mah enya Pa Kuwu, sihoreng meureun jajaka nu geus ngabandang Nyi Ronggeng peuting harita teh lain sajalma-jalmana behna mah kajajaden” Juragan Udel ngaheruk bangun nu alum.
“Leres ayi Udel, malih numutkeun Aki Kuncen eta maung kajajaden teh asa kaondang datang pedah tayub nu ditanggap ku Ayi make go’ong gede nu sorana agem. Si Aki ge harita teu bisa kukumaha cenah da eta mah siluman jin kapir tea nu aus daging manusa” Tembal Kuwu Semar, Kuwu Semar jeung nu aya di dinya ting birigidig teu kawawa ku kakeueung.
“Ih! Naha di lembur urang bet aya keneh nu kitu? Bararaid teuing”
“Nya pokona urang ti mimiti ayeuna mah kudu waspada! Eusian jiwa urang ku iman jauhkeun kamusrikan da Jin kapir mah di mana-mana teu weleh ngagoda jalma sangkan lumpat kanu jalan salah jeung urang kudu amitan mun rek tatanggapan da dihenteu-henteu ge mahluk gaib nu aya di sabudeureun urang bisi aya anu kaganggu da hirup urang teh silih damping jeung maranehna, nu penting mah urang kudu ngadeukeutkeun diri kanu Kawasa” Kuwu Semar tuluy mapatahan.
“Tah warga sakabeh, kuring menta hampura ka sarerea! Alatan hajat kuring anu rongkah Nyi Ronggeng jadi korban maung kajajaden. Alatan kitu ti mimiti ayeuna urang Cibogo ulah hayang nanggap tayub anu make go’ong gede bisi kajajaden asa kaondang, cadu mun kudu nanggap tayub make go’ong gede deui” Kecap Juragan Udel bari tuluy miang nuturkeun Kuwu Semar.
Ucapan Juragan Udel disaksian ku nu aya di dinya, eta teh mangrupa hiji janji anu teu meunang diincahan ku urang Cibogo sabab geus cacaduan. Harita keneh rahayat lembur ngubur tulang-tulang nu geus ucutan, sawareh ngubur sirah nu aya di sawah girang, tulang leungeun jeung sukuna aya di Bebedahan. Ti saprak harita leuweung tonggoh nepi ka kiwari nelah leuweung “Cucut”, lantaran mimiti katimuma tulang-taleng ronggeng nu arucutan di dinya. Ti mimiti tos kajadian aheng eta urang Cibogo mun tatanggapan teu wani nanggap tayub atawa bangreng make go’ong gede, wirahmana cukup ku kemplung wae.
Hiji kulawarga anu gehgeran jeung teu percaya kana tahyul sakral pernah nanggap bangreng make go’ong gede. Sabot lalajo aya nini-nini tibuburanjat lantaran dina dahan kiara katenjo aya maung lodaya gede tur buringas keur nangkod, jigana keur nitenan Nyi Ronggeng.
Keur jalma nu kawenehan mun wanci pasosore ngumbar lamunan di sawah girang sok kadenge sahengna nu nanggap tayub, sora rebabna atra tur eces padahal jauh ti pilemburan kawas nu ngingetkeun kajadian tayub baheula. Sapanjang urang Cibogo masih ngulik eta sugesti kajadian pasti aya wae, eta mah balik deui kana kapercayaan diri sorangan nu penting sadar ku kaimanan yen sagala kajadian asalna ti Allah SWT tur bakal mulih deui ka mantenna nu penting urang yakin jeung Insya Allah moal aya kajadian nanaon mun urang percaya kana sugestina teu liwat wates wangen, hartina urang ulah songong/sompral teuing jeung ulah panatis teuing. Sapanjang lalakon Wallahualam
Didugikeun ku “Lilis Lisnawati Rustandhi”
Narasumber: 1. Wasta : M.A. Sarma
TTL : Sumedang, 4 Oktober 1944
Pakasaban : Pensiunan Guru
2. Wasta : Uhdi bin Marja
TTL : Sumedang, 8 Juli 1945
Pakasaban: Patani/Kepala Dusun Cibogo

SI JAGO MORO

Dina mangsa Dayeuh Luhur acan kasungsi ku jalma jaman kiwari, aya bewara ti para sesepuh ngeunaan saurang lalaki tukang moro sato. Eta lalaki teh katelah si jago moro, umurna geus maju ka cetuk huis. Tapi alatan sok resep aber-aberan eta lalaki teh katenjona jagjag belejag, malahan teu rengrot-rengrot ku kakolotanna. Pangawakana nu rada tokroh-tokroh tur omonganna sok songong masih keneh resep ajig-ajigan ngungudag si kukut anjing hideung badag nu satia dibawa moro.
Hiji mangsa kumpulan tukang moro anu pareng aya di eta lembur, badami ngeunaan hiji perkara anu aya patalina jeung moro sato.
“Lain euy dewek meunang beja ti lembur batur, cenah mah aya gajah badag tur galak anu hese diporona” Ceuk tukang moro nu pangawakanna jangkung badag, pok wae si jago moro nempas kalawan yakin naker.
“Ah, sakumaha badag jeung galakna sato poroan, diuber ku si kukut anjing dewek mah moal burung taluk” Walon si jago moro ku legeg nu gede hulu bari nepak dada.
“Silaing tong gagabah euy! Sabab ceuk beja oge eta gajah teh lain gajah samanea tapi jejelemaan ti anak dewa Ganesa”. Barang ngadenge katerangan ti baladna si jago moro ngabarakatak bangun anu ngeunah naker.
“Ha…ha…ha…ha…. Kaula jadi hayang nyaho siga kumaha gajah teh? Silaing tong waka percaya! Beja mah acah puguh bener euy” Walon si jago moro.
Rebun-rebun keneh si jago moro geus ngiketkeun rante emas dina beuheung si kukut. Tuluy manehna ngojengkang kana dahareun paranti si kukut, atuh anjing hideung teh ngagogogan ka dununganna bari ngaluarkeun letah ceperna.
“Kop kukut gera sarapan heula, engke beurang urang moro bogong” Ceuk si jago moro bari ngusapan bulu anjing hideung inguanna. Katenjo rante anu dibeulitkeun tina beuheung si kukut teh pating gurilap da puguh bahanna dina emas sinangling.
Poe harita manehna geus janji jeung balad-baladna rek ngadon moro ka leuweung tonggoh. Ku lantaran kitu harita keneh manehna gura-giru indit ka lebah tonggoh. Nepi ka leuweung anu dituju, si jago moro mugagkeun lengkahna. Tuluy sakedapan nitenan balad-baladna anu ngadon pating hareruk kawas anu keur bingung. Pok wae atuh si jago moro teh nanya ka kabehan.
“Naha ari maneh kawas anu linglung?”
“Puguh ieu euy, aneh tara ti sasari leuweung teh bet suwung-suwung teuing?” Walon salah saurang balad si jago moro.
“Palangsiang bagong teh nyarahoeun yen poe ieu urang rek moro gegedean, jadi meureun nyarumput” Ceuk si jago moro bari ulak ilik.
“Ceu tukang moro ti lembur sejen mun kaayaan leuweung sepi kieu rek kadatangan gajah jejelemaan anak dewa tea” Barakatak teh si jago moro seuri ngeunah pisan bari susumbar deui.
“Aya alusna euy, leuweung urang rek kadatangan gajah aheng mening urang paroro ku sarerea, yu!” Ajak si jago moro sangeunahna.
Sabot kitu tukang moro pating rareret teu puguh lantaran rarasaan teh bumi asa inggeung. Geblig..geblig..geblig bumi asa ngariyeg. Sarerea ngagebeg ampir bareng lantaran tangkal kiara anu teu jauh ti dinya oyag kawas aya anu ngendagkeun. Breh teh di sabudeureun eta tempat aya hiji sato anu kacida gedena keur ukuran sato. Kabeh tukang moro anu tadina olohok teh jadi pating kolesed iwal ti si jago moro nu kalah ngadon campego, tuluy cumarita bari panonna nitenan sato gede nu teu jauh ti hareupeuna.
“Sok siah sato buta silaing ku dewek rek diporo, tong disebut si jago moro mun teu bisa moro gajah hiji. Lamun beunang dewek bakal jadi pamujian urang lembur” Kocap si jago moro bari nyakakak, tapi ngadadak curinghak waktu ngadenge aya nu ngomong.
“Lamun teu beunang silaing kudu daek jadi batu” Si jago moro luak lieuk, manehna helok basa nempo tulale gajah oyag-oyagan, manehna teu percaya gajah teh bisa ngomong.
“Aeh aeh geuning sia teh bener-bener bisa ngomong euy”
“Nya puguh bae atuh, da kaula mah jejelemaan ti anak dewa. Kumaha daek teu jadi batu teh?” Tanya gajah teh bari depa.
“Komo kitu siah dewek mah beuki panasaran, tong boro jadi batu lamun dewek teu bisa moro nepi ka beunang dalah jadi gunung oge sanggup siah” si jago moro nu geus kapalang nangtang jeung sompral nembal bari taki-taki. Tapi barang anggeus manehna kokoar kalawan songong teu pupuguh aya guludug gede naker tengah poe ereng-erengan.
Geblig..geblig, gajah anu ngaku jejelemaan anak dewa teh ngalengkah gancang pisan, si jago moro teu eleh deet cengkat bari ngegebah-gebah si kukut sangkan ngudag gajah anu beurateun mamawa awak.
“Sok siah ku dewek bakal diudag najan nepi ka mana oge” si jago moro cocorowokan bari nyenyekel rante emas nu dibeulitkeun dina beuheung si kukut. Sigana si jago moro teh harita mah geus bener-bener nekad nepi ka ngagadekeun sumpah jadi gunung ka gajah anak dewa.
Ti poe ka poe gajah anu sakitu limpeuna teh teu beunang-beunang. Alatana eta gajah teh parigel pisan, unggal si kukut nyegag sukuna gajah teh rikat nejehkeun sukuna nepi ka si kukut teh ngajengkang. Si jago moro can bisa ngelehkeun gajah geus ampir ganti minggu, manehna beuki angot jeung panasaran nepi ka teu inget nanaon ti leuweung ka leuweung terus ngudag. Sanajan salaku manusa manehna meusmeus reureuh bari marab si kukut ngumpulkeun kakuatan sangkan bisa meruhkeun gajah anak dewa. Manehna can ngarasa taluk terus muter ti leuweung asal nuju ka kulon. Nepi ka hiji mangsa manehna ngarasa aya deui di leuweung asal, sihoreng gajah teh lumampahna nguriling balik deui ka leuweung asal.
Harita eta gajah teh geus katenjo lunges, kacida atohna si jago moro barang nyaksian si kukut geus ngabagug bari ngegel suku gajah.
“Pek siah gajah beunang, teu panasaran kaula mun jadi gunung oge” Sarengsena si jago moro ngomong kitu, sora guludug nu baheula pernah ngabeladug handaruang teh harita kadenge deui ngabeledug kawas neunggar langit. Hate si jago moro asa ngaleketey ngingetkeun caritaanna salila ieu nu teu weleh sompral jeung takabur, padahal saestuna kabeh mahluk nu aya di bumi gagaduhan Allah SWT ieu kaasup jalma teu meunang songong borongongong asa aing pangjagona sabab kabeh ge bakal binasa anging pangeran anu ngagaduhan sagalana.
Tulang tonggong si jago moro nu geus mimiti rarepo kadenge ngederekdek barang awakna katarik ku rante emas nu nalian beuheung si kukut, lantaran si kukut meni ngabagug kawas anu embung ngaleupaskeun suku gajah. Si jago moro rarasaana harita mah aheng asa geus euweuh tangan pangawasa, tonggongna asa remuk teu bisa diajegkeun deui. Pipikiran asa lung leng, saenggeus kadenge deui guludug nu ngabentar jomantara teu pupuguh wanci anu tadina panas ngadak-ngadak hujan meni badag dibarengan dor dar gelap. Si jago moro geus teu inget nanaon deui lantaran sora jantungna ngadak-ngadak eureun, kitu oge si kukut jeung gajah nu diporo teh teu usik teu malik.
Ti mimiti harita urang lembur pada helok tur ngarasa meunang kaahengan anu luar biasa, sabab di luhur lemburna ujug-ujug ngadeg tilu gunung anu teu puguh asalna. Lamun pirajeunan disawang ti anggangna tur dipanpantes ti kajauhan tilu gunung anu ngantai teh bisa mangrupa. Gunung anu di sisina ngajirim jalma bongkok, nepi ka kiwari katelah “Gunung Bongkok”. Ari gunung nu di tengah jugrugna jiga anjing nu keur ngabagug nepi ka ayeuna eta gunung nelah “Bagug Anjing”, tur gunung anu di sisina persis gajah anu keur digegel sukuna ku anjing jadi disebut “Gunung Gajah”.
Numutkeun sepuh anjing teh ngabagug ka lebah kulon, beungeutna nyanghareup ka lebah kota Bandung, alatan kitu urang Bandung sok kasebut jalmana babari lapar sabab pangaruh kasanghareupan beungeut anjing. Lamun bulan Mulud urang pareng jalan-jalan ka Deyeuh Luhur pasti sok katingali gunung bagug anjing nu ayana di dusun Sukarasa.
Hiji mangsa dina jaman kiwari kadang kaahengan eta gunung sok pirajeunan katenjo ku jalma nu kawenehan. Peuting harita aya hiji budak anu nempo pisan ku panon sorangan yen aya rante nu ngagurilap lir emas sinangling di awang-awang, eta rante teh cenah nyambung ti gunung bongkok ka bagug anjing, nyata jeung henteuna Wallahualam. Numutkeun kapercayaan urang Dayeuh Luhur sing saha anu kawenehan ningali eta rante emas InsyaAllah eta jalma bakal gede rejeki, eta ngan ukur sugesti, saestuna rejeki, jodo jeung pati Allah anu ngatur.

Sapanjang lalakon si jago moro tandaning yen di Dayeuh Luhur lain ngan ukur nunda lalakon babad/sajarah, tapi aya sasakala nu kudu diguar dina wangun sastra. Sagala rupa asal muasal jeung silsilah saestuna ukur rekaan tur papaes seni sastra nu direka karana bukti, nyata jeung henteuna Walahualam, tapi urang kudu inget yen sagala rupa kajadian teu aya nu pamohalan lamun Allah ngersakeun tur urang kudu percaya yen di sabudeureun urang aya mahluk gaib nu silih damping nyaeta jin, kalayan kajadian nu direka ieu numutkeun sesepuh kajadiana waktu alam dunya umurna masih ngora nyaeta panginten jalma can mikawanoh kana peradaban agama anu linuhung nyaete Islam, ku kituna masih aya kapercayaan dewa-dewi.

Direka ku: Lilis L. Rustandhi
Narasumber: Wasta : Bp. Dudu
Tempat/Tanggal Lahir : Sumedang, 14 Juni 1957
Pakasaban : Patani/Kuncen Dayeuh Luhur
Padumukan : Dsn. Dayeuh Luhur RT 01/RW 01














EYANG RATNA

Kasebatkeun Ganca Aryawangi gaduh putera istri anu jenenganna Nyi Ratna. Bakat kumeumeut Ganca Aryawangi melak kembang campaka sabab dina emutanna gaduh budak awewe. Nyi Ratna dina mangsa harita mangrupakeun wanoja anu panggeulisna, rambutna panjang pisan lamun diangir oge sok disisiran ku gantar anu meunang ngahaja nyieun.
Lantaran rupana anu geulis Nyi Ratna teh jadi rebutan sakumna lalaki nu aya di Rancakalong, malahan nepi ka ditelasan ku pamuda uranng lembur Pangkalan, eta budak ngora teh bakat teuing kabungbulengan nepi ka nekad nandasa Nyi Ratna, jigana inyana ditolak cinta ku Nyi Ratna ngabalukarkeun nekad kanu jalan goreng.
Numutkeun sepuh mastakana dipiceun ka lembur anu diaranan “Sirah Cigintung”, pingpingna dipiceun ka lembur “Malingping”, tulang talengna dipiceun ka weengkon nu diaranan “Lebak Tulang”. Nyi Ratna ditandasa tur direcah atawa mun jaman kiwari mah disebut mutilasi di hiji tempat anu ayeuna diaranan “Lebak Ratna”.
Lantaran Ganca Aryawangi ngarasa kaedanan ku Nyi Ratna putera istrina anu rancunit, anjeuna angkat ka leuweung neang laratanna. Eta leuweung teh Lebak Tulang anu baheula acan dibukbak mangrupakeun leuweung awi. Rengse dibukbak di leuweung teh kapanggih tulang taleng jelema kawas urut dirogahala. Geus jentre kajadiana Ganca Aryawangi pindah ka Ciburuan anu kiwari wewengkonna katelah Desa Garawangi. Saacan pindah ti Cilalay atawa Cipala ka Ciburuan Ganca Aryawangi ngedalkeun supata “Anak incu anu sakaera sakanyeri meureun bakal datang nuturkeun ka Ciburuan”, lantaran caritaan eta harita loba nu ngumbara ka Ciburuan kaasup saderek-saderekna Ganca Aryawangi nepi ka eta lembur teh diaranan “Garawangi”. Salian ti eta supata Ganca Aryawangi anu leuwih nyeri tur ngabukti inyana pernah cacaduan nyaeta turunan anjeuna mah cadu geulis, cadu panjang buuk. Ti saprak kitu turunan Ganca Aryawangi jarang anu geulis sampurna, malah rambutna lamun dipanjangkeun kalah sok rontok/murudul.
Gancangna carita antara urang Garawangi jeung urang Pangkalan disidangkeun alatan kajadian eta. Mimitina urang Pangkalan nyarita “Kajeun keneh bareuh beuteung tibatan kudu betus masalah nu ngerakeun lembur Pangkalan”. Atuh ti mimiti harita panyakit urang dinya lolobana panyakit bareuh beuteung. Caritana dina sidang si pamuda/nonoman nu nandasa Nyi Ratna teh laranganna digantelan terong beureum ku urang lembur, atuh jaksa nyarita “Paingan daek nandasa da jalma siwah”. Atuh nepi ka ayeuna keur urang Garawangi jadi pamali lamun bebesanan jeung urang Pangkalan, lantaran sok jadi siwah/leungit ingetan atawa ninggang pati.
Kajadian nu tumiba ka Nyi Ratna teh ku urang Rancakalong dianggap sanget, sabab lain ngan saukur dongeng tapi aya buktina, kajadianna kurang leuwih saratus taun katukang. Nepi ka ayeuna tangkal campaka anu jangkung kenging melak Ganca Aryawangi nanjeur jadi tangkal nu badag umurna ratusan taun tur ayana di Cipala.
Salaku umat nu boga kaimanan urang kudu nyaho “Nya ni’mat pangeran maraneh nu mana anu ku maraneh dibohongkeun teh?” ni’mat dibere raga nu sampurna kudu sukur jeung tawasul kalawan eta sadaya milik Allah SWT, titipan ti mantenna kudu bisa mawana jeung urang kudu yakin yen Allah masihan cocoba ka umatna moal ngalangkungan tina kamampuan urang, jalan hirup Nyi Ratna geus ditakdirkeun ku Allah kudu kitu eta nu alus numutkeun Allah sabab nu ku urang dianggap leres can mungguhan saur mantena leres. Urang ulah ngaluarkeun supata jeung cacaduan.

Direka ulang ku: Lilis L.Rustandhi
Dinten/Kaping : Juma’ah/9 Maret 2001
Waktos : Jam 15.30 WIB
Tempat : Dsn. Cipala-Rancakalong (Bumi Bp.Adung)

Narasumber : Wasta : Bp. Adung
TTL : Sumedang, 1921
Pakasaban : Patani
Padumukan:Dsn.Cipala-Rancakalong











MBAH BATU REKSO

Dina jaman baheula Desa Pangadegan kasumpingan inohong anu jenenganna Batu Rekso. Asalna ti Cirebon, anjeuna resep ngumbara ka tempat-tempat anu endah. Tapi Batu Rekso teh katingali betaheun. Anjeuna resep tatanen, moro, malah nu leuwih unik inyana the resep ngumpulkeun babatuan. Eta batu nu sakitu lobana digundukkeun di deukeut pasir.
Batu Rekso anu katelah mbah teh loba pisan ngumpulkeun batuna, malah nepi ka ayeuna batu anu ngagunduk teh masih loba nepi ka teempat eta teh ku pangeusi lembur diaranan batu tarengtong. Baheula Mbah Batu Rekso pernah nyarita “Bisi jaga rahayat barutuheun batu tinggal nyokot di dieu”. Caritaan Mbah Batu Rekso nepi ka ayeuna bisa kaalaman, batu teh ayeuna aya gunana keur rahayat di dinya.
Mbah Batu Rekso anu pangaakanna jangkung badag tur janggotna panjang teh, baheula kasohor jalma kuat, lantaran mampu ngangkat batu-batu anu galede. Saatos anjeuna sepuh tur matuh di Pangadegan, anjeuna beuki kasohor jadi panarosan ku urang lembur anu susah. Anjeuna netep di dinya dugi ka pupusna, malah kuburanna dihususkeun dikubur di pasir tonggoh, nepi katelah “Pasir Mbah”.
Makam Mbah Batu Rekso nu aya di Pasir Mbah teh dipelakan caringin, tapi ayeuna rungkad. Numutkeun kapercayaan kapungkur anu resep maen bal sok pirajeunan nyekar heula ka Mbah Batu Rekso supaya jag jag kudu ngaduakeun heula sabab Mbah Batu Rekso kasohor jalma kuat.
Ngaran Pasir Mbah ayeuna geus jadi ngaran hiji dusun anu aya di Desa Pangadegan, tur leuwih hususna nyaeta lapang nu aya di luhureun Dusun Pasir Mbah, di daerah eta Mbah Batu Rekso dimakamkeun. Ajen pikeun luluhur kudu dibudayakeun sabab bangsa anu luhur nyaeta bangsa anu ngajenan jasa-jasa luluhurna, komo Mbah Batu Rekso nuju jumenengna geus nyieun kahadean nu mangfaat keur rahayat nepi ka ayeuna eta teh bisa jadi amal nu terus ngalir ka anjeuna di alam bakah, urang aya di dunya cukang lantaranna ku ayana karuhun urang. Namung cara ngajenan karuhun nu tos teu aya kudu ngirim du’a, komo jalma soleh kudu terus dikirim du’a lantaran ibarat urang nyicikeun cai kana gelas terus pinuh caina ngalembereh maseuhan urang, kitu oge du’a keur jalma soleh insyaAllah bakal leber tur mudal balik deui ka urang. Anapon urang nyekar ka Mbah Batu Rekso kudu terus diupayakeun miharep ridha Allah SWT, ngadu’akeun anjeuna supaya jasana dibales ku pahala Amin…(Ditulis ku Lilis L.Rustandhi)
Narasumber: Wasta : Bp. Entang
TTL : Sumedang, 1936
Pakasaban : Pensiunan PNS
Padumukan: Ds. Pangadegan-Rancakalong
SASAKALA NGALAKSA

Kacarioskeun numutkeun sepuh, jaman kapungkur di wewengkon Rancakalong kakurangan pare. Urang Rancakalong geus baringung sabab pare nu dipelak teh teu kajadian, lantaran sieun kalaparan rahayat di Rancakalong ngayakeun gempungan pikeun neangan jalan sangkan ulah aya bancang pakewuh ngeunaan kadaharan poko.
Hiji mangsa gempungan teh meunang jalan alatan Mbah Jati sesepuh lembur meunang ilapat kudu angkat ka Mataram. Kabeh rahayat nyaluyuan Mbah jati jeung lima urang sesepuh angkat ka Mataram geusan ngadeuheusan Sultan Agung Mataram.
Sadugina di karajaan Mataram Mbah jati ngadugikeun sagala kajadian di daerah Rancakalong, nepi ka nyuhunkeun cara-cara nyuburkeun pare boh sacara lahir jeung sacara batin. Sultan Agung harita nedunan pamenta Mbah Jati tur mere binih pare anu biasa dipelak ku rahayat Mataram. Tapi salian ti kitu Sultan Agung mere pesen ka urang Rancakalong, nyaeta kudu ngembangkeun adat Mataram di Rancakalong. Adat Mataram teh unggal rek panen pare kudu ngalaksa. Numutkeun kapercayaan aya mangfaatna nyaeta ngembangkeun budaya jeung sacara batin nyuburkeun Dewi Sri.
Sasumpingna Mbah Jati ka Rancakalong langsung ngabagikeun binih pare ka rahayat Rancakalong, harita binih pare di bagikeun di lembur anu ayeuna diaranan Sebagi lantaran baheula ka sohor tempat ngabagikeun binih pare ti Mataram. Ti mimiti harita rahayat Rancakalong ngembangkeun budaya Mataram, unggal rek panen sok di sambut heula ku ngalaksa, biasana dilaksanakeun bulan Juli. Nepi ka ayeuna ngalaksa sok dilaksanakeun ku urang Rancakalong sacara resmi sabab geus jadi adat kabiasaan urang Rancakalong, nepi ka bisa ngondang perhatian wisatawan jeung budayawan.
Ngalaksa hartina ngajieun laksa, harti laksa nyaeta bilangan rebuan, ngalaksa artina ngajieun rebu. Kudu aya sarebu bubuahan tapi sabab hese neangan nepi ka sarebu teu nanaon kurang ti sarebu ge bisa di sarebukeun ku cau sewu. Hartina buah-buahan bebas sabaraha wae ge asal kudu aya cau sewu pikeun nyewukeun. Saestuna urang ngamumule kamonesan karuhun sapanjang teu papalimpang jeung dzin anu pasti tur bukti nyaeta Dzinul Islam (Dipedar ku: Lilis L.Rustandhi)

Narasumber: Wasta : Bp. Sukarma
TTL : Sumedang, 1941
Pakasaban : Patani
Padumukan : Ds. Rancakalong

PASIR DOG-DOG

Dina jaman kapungkur kaayaan di Rancakalong kalintang tiiseun ku seni. Rahayat Rancakalong katingalina kurang resep kana seni nu rame, alatan Rancakalong kaasup daerah pasisian tur sanget. Komo harita mah masih keneh kacaritakeun loba begal alatan wewengkon Rancakalong nyingkur pisan.
Hiji mangsa pupuhu nu aya di dusun nyingkur hayang ngarobah kaayaan lantaran harita loba rahayat nu masih percaya keneh kana tahayul, cenah teu meunang raramean di Rancakalong lantaran ceuk karuhun baheula ulah gareuwah. Pupuhu anu katelah Ki Wangsa teh nyoba ngajak ka rahayat di dinya pikeun nyieun iring-iringan. Harita oge sabangsaning jentreng mah geus aya di dusun sejen. Tapi ceuk kolot eta mah moal nanaon lantaran henteu gareuwah teuing.
Tapi harita Ki Wangsa jeung babaturanna anu sapamadegan keukeuh rek nyieun reog. Najan loba anu nentang maksud Ki Wangsa, tapi manehna tetep nyieun alat kasenian anu dijieun tina kulit domba. Alat kesenian teh mangrupa dog-dog.
Beres dog-dog dijieun, Ki Wangsa jeung baturna iring-iringan ngurilingan lembur bari ngareog kakawihan. Sakali, nepi katilu kali euweuh kajadian nanaon, justru beuki loba nu resepeun. Lila-lila rahayat beuki kataji, malah aya nu ngadon nitah nyieun ka Ki Wangsa nyaeta nyieun dog-dog. Lantaran harita jadi loba budak ngora nu hayang nyieun dog-dog, beuki lila rahayat nu aya di Pasir Dog-dog ngarasa teu tiiseun ku seni. Katelah we eta tempat teh “Pasir Dog-dog”.
Saestuna Allah moal ngarobah nasib hiji kaum/jalma mun eta jalma teu aya usaha pikeun ngarobahna. Nilik kana sasakala ieu urang kudu inget sagala rupa anu hayang kahontal kudu neangan jalan keur ngahontalna, urang ulah cicing wae nungguan nasib nu teu dirobah ku urang sorangan, mun aya usaha pasti aya jalan.
Didugikeun ku: Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Bp. Ujun
TTL : Sumedang, 1927
Pakasaban : Patani
Padumukan : Dusun Cibingbin-Rancakalong




SASAKALA BANTARMARA

Tos teu bireuk deui kaceluk ka awun-awun kawentar ka janapria, hiji lembur nu tos masur nu nelah Bantarmara. Asal-usulna catur sepuh kapungkur carita ti balarea, aya sapasang nonoman anu ngalalana milari pitempateun pikeun bebetah.
Saparantos eta jalmi ihtiar natar ngaler natar ngidul, jog anjog ka hiji tempat mendak cai nyusu bijil di hiji gawir anu herang ngagenclang. Nya di dinya sapasang nonoman teh netepkeun pitempateuna anu hade, saparantos kitu eta nonoman teh ngagaduhan turunan beuki lami beuki seueur. Namung inyana bingung alatan eta tempat teu acan ngagaduhan aran, saban dinten saban wengi anjeuna teu weleh ngemut naon piaraneun tempat eta.
Anjeuna manteng ka nu maha Agung supados dipasihan pituduh kanggo ngaranan eta tempat. Hiji mangsa anjeuna lumantung ka hiji tempat di sisi walungan aya jontor nonjol ka walungan, di tengah-tengahna aya hiji tangkal mara, kacida pisan bungahna eta jalmi saparantos ningali eta tangkal. Inyana ngemut yen pingaraneun eta tempat jontormara. Tapi saacan nyebar eta aran tempat mangsa harita tagkal camara teh tutung kabentar ku gelap nu antukna katelah we ngaran tempat nu dicicingan ku jalmi salembur teh “Bantarmara”.
Diserat ku: Sylvia Desi Agustina (SMK Maarif 2 Sumedang, kls. TKJ)
Diatik ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : A’a Jami’at
TTL : Sumedang, 2 Januari 1947
Padumukan: Bantarmara









SASAKALA GUNUNG KULA

Jaman baheula aya hiji karajaan anu ngarana Karajaan Majapahit anu ngawengku tilu kabupaten diantarana perbatasan ti ujung wetan Kabupaten Cirebon, ti kulon Kabupaten Sumedang, sedengkeun Majapahit aya di wewengkon Majalengka.
Dina hiji poe paduka Raja ngayakeun sayembara kalawan make hadiah anu kacida pisan gedena, harita raja nitah ka para pangawalna pikeun ngembarkeun beware ka sakabeh rahayat yen anu bisa ngajawab sayembara ti raja baris dibere hadiah emas batangan nu beuratna 100kg. Atuh puguh we sakabeh rahayat ti suklakna ti siklukna pada daratang ngajugjug ka alun-alun tempat diaayakeunna sayembara.
Ti katebihan tos katingal raja di luhur papanggungan calik dihapit ku para emban sareng dayang-dayang. Teu kantos lami raja cengkat bari nyarios, atuh jep we sora nu tadina gandeng, recok kawas di pasar teh jadi jempling kawas ga’ang katincak, teu kantos lami raja nyarios ku suanten anu leuleuy, keudeu tapi pinuh ku wibawa tanda cirri raja nu wijaksana.
“Hey sakabeh rahayat sakumna, ieu patarosan sayembara gera jawab! Gunung naon anu bisa ngahasilkeun cai anu amis bari teu digulaan?” Saur raja ka rahayatna.
Sadaya rahayat ting rareret pada mikir, “Nya gunung naon?” silih Tanya jeung baturna. Kira-kira satengah jam lilana aya anu ngacung bari nyampeurkeun ka raja. Hiji isteri ngais mulangkalih, raja curinghak bari enggal naros ka eta isteri, eta isteri malik naros ka raja,
“Naha Paduka moal nyeuseul upami abdi ngawaler?” taros eta isteri.
“Moal” Walon raja bari nanya deui naon waleranna.
Jung eta isteri ngadeg teras nyarios yen gunung nu bisa ngahasilkeun cai nu amis nyaeta gunung kula saur eta isteri bari nunjuk ka murangkalih nu nuju ngempeng ka ibuna. Atuh ger ambal-ambalan rahayat sarurak nyebut gunung kula. Ti ngawitan harita eta gunung leutik teh boga julukan “Gunung Kula”, malih ayeuna mah tos jadi lembur nyaeta anu aya di wewengkon Tanjungkerta-Sukamantri. Dipedar ku: Chicha Meilasary (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. TKJ)
Pangaping: Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Bp. Sunarya
TTL : 18 Januari 1930
Pakasaban : Kuncen
Padumukan : Sukamantri-Tanjungkerta

SASAKALA SINGAPARNA

Matak disebut Singaparna teh baheulana aya singa gede jeung sakti. Singa eta teh jugjug aya datangna ti leuweung, singa teh ngaganggu warga nu aya di dinya. Kalilaan singa teh cicing di eta lembur, warga oge teu wani ngusir lantaran kasieunan.
Harita datang aki-aki mawa iteuk nyampeurkeun ka singa, si aki terus ngajak gelut ka eta singa. Tapi saacan gelut aki-aki teh boga pamenta ka singa nyaeta mun singa eleh kudu balik deui ka lembur tong ngaganggu deui warga, singa teh nyatujuan. Saterusna maranehna gelut, nyatana singa teh eleh terus singa teh indit ka leuweung jeung teu wanieun deui datang ka eta lembur.
Eta alatanna tempat teh disebut “Singaparna” sabab harita singa teh saenggeusna tarung patutunggalan jeung aki-aki sakti jadi tatu warugana parna pisan nepi ka antukna singa teh paeh alatan cilakana parna pisan.
Diserat ku : Noor Laela (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.TKJ)
Pangaping: Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Aki Mita
TTL : Sumedang, 7 Maret 1948
Padumukan : Singaparna











SASAKALA GUNUNG TAMPOMAS

Kacaritakeun Gunung Gede nu aya di Sumedang ngaluarkeun sora nu pohara pikakeueungeunna. Sorana ngaguruh, tina puncakna kaluar haseup campur lebu anu hurung. Eta gunung kawas anu arek bitu. Atuh pohara rareuwaseunna rahayat Kabupaten Sumedang waktu harita, kumaha balukarna mun eta gunung teh bitu.
Kacatur nu jeneng bupati harita puhara toweksana ka rahayat, wedi asih sarta wijaksana. Atuh sateuacan kalaporan bewara ge anjeuna parantos uningaeun kumaha tagiwurna rahayat, anjeunna teras ngemut sangkan tiasa nyalametkeun rahayat dina bancang pakewuh.
Ku pangrujung kanyaah ka rahayat tea, anjeunna teras nyepi di kamar seja mujas medi neda pituduh ti hyang widi susuganan kucara kitu anjeuna kenging bongbolongan.
Dina hiji wengi Kanjeng Bupati ngimpen kasumpingan hiji aki-aki. Eta aki-aki nu nganggo anggoan sing sarba bodas teh pok sasauran anca pisan,
“Putu Eyang anu kasep, Eyang tos terang kabingung hidep. Kahayangna eta gunung ditumbal ku keris pusaka kagungan putera dalem anu dijieun ku emas, poma hidep ulah rek ngoretkeun!” Sabada sasauran kitu eta aki-aki teh les wae ngaleungit tina impenan Kanjeng Bupati.
Satampina ti eta enggal bae Kanjeng Bupati kaluar ti kamar sarta ters nyandak keris pusaka. Anjeuna angkat ngajugjug puncak Gunung Gede, rurusuhan da sieun bitu manten. Harita rahayat naluturkeun. Kanjeng Bupati ngalungkeun keris ka jero kawah, jep saharita sora-sora anu ngaguruh pikakeueungeung teh jempe. Lini anu geus lila karasa teu karasa deui harita mah. Sabada leungit kagetna timbul kabungah rahayat, ger wae surak bakat ku atoh sarta tuluy sumujud ka Kanjeng Bupati tanda nganuhunkeun bari pasini seja satia.
Maksud kasatiaan rahayat teh ku Kanjeng Bupati ditampi kalayan dareuda bakat kubingah, bingah manahna lantaran bisa nyingkahan balai, bingah lantaran bisa nyalametkeun rahayat. Eta teh picontoeun pigur pamingpin nu nyaah ka rahayat teu lebar ku barang pusaka nu dipusti-pusti alatan hayang nyalametkeun rahayat teu mentingkeun karesep diri sorangan. Saestuna urang mun hayang mere barang ka butur teh kuduna mere barang kameumeut urang nu pangalus-alusna eta teh ku Allah bakal diganjar pahala nu pangalusna. Ti mimiti harita eta gunung teh diganti arana jadi Gunung Tampa Emas, nelahna Gunung Tampomas. (Diserat ku: Wiwin W, SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. TKJ), Diatik ku: Lilis L.Rustandhi.
Narasumber: Wasta : Bp. Aceng
Padumukan : Rancamulya


MBAH UCING DI CIPANCAR

Di Desa Cipancar Sumedang Selatan aya hiji ngaran sato nu teu meunang disebutkeun arana nyaeta ucing, di dinya mah pamali mun nyebut ucing teh kuduna enyeng. Asal mulana mah baheula aya hiji ngaran karuhun nu dumuk di wewengkon Cipancar jenenganna Mbah Ucing, waktos si Mbah ngantunkeun sadaya warga teu warantun nyebat namina cenah bilih teu sopan. Ti mimiti harita mun aya nu nyebat namina sok aya kajadian nyaeta hujan angin dor dar gelap.
Kantos aya hiji kajantenan nyaeta hiji warga nu teu percaya kana larangan eta. Inyana terus nyebat “ucing” kawas nu nantang. Teu kungsi lila turun hujan gede dibarengan dor dar gelap. Unik jeung aheng sugesti nu aya di eta lembur teh, tapi eta teh jadi salah sahiji kabeungharan sugesti nu aya di wewengkon Sumedang. Nu penting urang salaku manusa ulah sompral teuing jeung ulah panatik teuing. (Diserat ku: Sri Rahayu, SMK Ma’arif 2 Sumedang Kls. Ak)
Dibimbing ku: Lilis L. Rustandhi
Narasumber: Wasta : Bp. Marna
Yuswa : 70th
Padumukan : Dsn. Sagaramanik-Cipancar













Babad Cipaku
Kira-kira kasalapan masehi, di lemah Cipeueut Desa Cipaku, Kacamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang ngadeg hiji padepokan nu kakocap bagala asih panyipuhan , demi anu nyepeng di eta Resi sanghyang agung, anjeunna hiji pandita anu kaceluk luhur elmu tur jembar panalarna, wuwuh terah raja rembesing kusuma.
Tisaprak ngadeg karesian di Cipeueut estuning tingtrim paracatrik mawa betah ka rahayat nagri jadi sugih mukti gemah ripah loh jinawi. Padahal samemehna mah rahayat loba katalangsara, lantaran di lebah dinya di kawasa ku raja dedemit anu pohara telengesna teu kurang-kurang jalma jadi wadal malah nepi ka perlayana.
Resi sanghyang Agung teh saestuna raja di nagara Galuh anu gilig ngantunkeun kalungguhan seja nyoba ngalalana, seja ngaping ngajaring rahayatna kucara nerapkeun elmu sajatining hirup. Kacatur dina hiji mangsa anjeuna mendak hiji lembur singkur sisi walungan Cimanuk katelahna wewengkon Cipeueut. Kaparengkeun rahayat di dinya keur katarajang gangguan ti bangsa lelembut teu aya nu bisa nyinglarkeun lantaran eta siluman sakti nu ngaganggu, rahayat bati jumerit dina nandangan bahala jeung cocoba.
Gancangna carita henteu kacaturkeun deui aya rahayat diganggu ku bangsa lelembut, kahirupan rahayat estu tingtrim, malah beuki lila jalma ti anggangna ge daratang sajaba ti ngaradon nyiar kahirupan kujalan tatanen sakalian nyiar elmu ka pangersa Resi Sanghyang Agung
Resi sanghyang Agung kagungan puteri hiji nyaeta Dewi Nawang Wulan anu ditikahkeun ka muridna nyaeta Prabu Guru Adji Putih. Inyana ngawitan ngabedah lahan di wewengkon Leuwi hideung pikeun ngadegkeun nagara nu jenengan Tembong Agung neraskeun kalungguhan ramana. Prabu Guru Adji Putih kagungan putera opat sadayana pameget, anu cikal jenenganna Tadji Malela anu hartosna karembong nu seukeut, lantaran Tadji hartosna seukeut sedengkeun Malela hartosna karembong. Waktos Tadji Malela gumelar ka alam dunya di langit sabudeureun Nagri Tembong Agung aya cahaya ngegeleber mangrupi karembong. Tadji Malela neraskeun kalungguhan ramana dibenum janten Raja Tembong Agung.
Sedengkeun Prabu Guru Adji Putih saparantos lungsur tina kalungguhanna, anjeuna teras jengkar ka tanah suci seja nyuprih elmu bagbagan Agama Islam sakantenan munggah haji. Samulihna jarah ti tanah suci jenenganna digentos janten Mbah Haji minangka oleh-olehna. Sagedengeun nyebarkeun Agama Islam Mbah Haji ngadamel tujuh sumur geusan kahirupan rahayatna, salah sawiosna aya di lemah Cipeueut katelahna sumur lemah Tamba. Dugi ka kiwari caina sok diala pikeun ubar rupa-rupa panyakit,malah sok dipake wudhu atawa mandi ku sawatara jalma nu jarah ka dinya. (Didugikeun ku: Wilda Risfyana, SMK Ma’arif2 Sumedang Kls.Ak)Dibimbing ku: Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Ahmid
TTL : 8 Juni 1931

BABAD SAGARA KEMBANG

Kuring ngadenge di kampung nu ngarana Sagara Kembang nu ayana di Kacamatan Cibugel. Sabab eta disebut kampung Sagara Kembang teh dicaritakeun baheulana aya hiji tangkal kembang anu kembangna teh aya tujuh rupa, nepi ka warnana oge beda. Eta kembang teh aya di makam anu seungitna ka warung domba.
Teu sambarangan jalma bisa nempo tangkal kembang eta, ngaran kampung Sagara Kembang geus aya ti saacan jaman penjajahan. Hartina ngaran Sagara Kembang teh asal kecapna tina “Sagala kembang” anu hartina rupa-rupa kembang.
Didugikeun ku: Sri Maida (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ak)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Ahdi
Pakasaban : Patani
Padumukan : Dsn. Antara, Ds. Tamansari













SASAKALA GUNASARI

Di hiji desa aya hiji wanoja anu kasohor ku kageulisana nu ngarana Nyi Sari, manehna teh jadi kembang desa di lemburna. Kusabab Nyi Sari mah geulis, bodas, jeung pangawakana nu alus jangkung leutik. Pokona mah Nyi Sari teh idaman para nonoman, tapi aya hiji kagorengan Nyi Sarah nyaeta jalmana sombong.
Najan Nyi sari sombong tapi tetep loba nonoman nu hayang ka Nyi sari, mun aya nonoman nu bisa meunangkeun Nyi Sari gede milik cenah. Tapi geus sabaraha hiji nonoman nu ngalamar Nyi Sari tetep ditolak jeung alesanna teu pantes cenah ceuk Nyi Sari meunteun sorangan sadar kana kageulisanna.
Dina hiji poe kacaritakeun aya hiji jajaka nu rek ngalamar Nyi Sari, manehna asalna ti lembur wetan. Sanepina eta jajaka ka imah Nyi Sari manehna teh langsung nyebutkeun maksud kadatanganna, tapi memeh anggeus nyebutkeun maksud Nyi Sari langsung ngusir jajaka nu aya di hareupeunna kucara nu teu sopan malah make ngagorowok sagala nyirikeun teu suka. Jajaka teh langsung nangtung bari ngucapkeun kanyeri hatena. Nepi ka nyarita yen manehna teu rido diusir jeung sumpah bakal males ka Nyi Sari kucarana sorangan. Tuluy eta jajaka ngaleos mawa katugenah hate, Nyai Sari rada reuwas oge ngadenge ucapan eta jajaka, sakedapan ngahuleng tapi hatena ngubaran maneh yakin yen eta jajaka ukur ngageretak wungkul.
Teu kungsi lila ti harita Nyi Sari arateul saawak-awak, inyana terus gagaro nepi ka garetihan. Eta panyakit teh karasa ku Nyi Sari geus mangbulan-bulan, Nyi Sari geus diobat kamana-mana tapi euweuh hasilna. Nepi dina hiji peuting Nyi Sari ngadoa bari ceurik menta pituduh ka Allah. Hasilna manehna meunang ilapat yen manehna di guna-guna.
Dina implenganna nu mere pitunjuk teh nitah Nyi Sari ngarubah sikep jeung kudu menta hampura ka jalma-jalma nu pernah dinyerikeun. Nyi Sari langsung inget ka jajaka nu pernah dinyenyeri ku manehna. Manehna neangan jalma-jalma nu pernah dinyenyeri ku manehna tuluy menta hampura ka unggal jalma hususna jajaka nu pernah dinyenyeri. Antukna Nyi Sari sadar kana sagala kasalahan jeung sikep gedu huluna, manehna bisa ngarubah sikep jeung kalakuanna. Saeutik-saeutik panyakitna nyageuran, kalawan kusohorna kajadian nu tumiba ka Nyi Sari antukna eta tempat kaasup wewengkon sabudeureunna diaranan “Gunasari”, nyaeta pikeun ngingetkeun kajadian nu tumiba ka Nyi Sari anu diguna-guna. (Diguar ku: Wilan Kustiar, SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ak)
Dibimbing ku: Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Bp Nana
Pakasaban : Patani

CIPAINGAN

Zaman baheula hirup sapasang salaki jeung pamajikan nu cicingna di kampung Paramasan, nyaeta Aki Surabragja jeung Nini Eket. Ki Surabragja boga pangaruh sok diajenan ku warga kusabab sagala daekan nepikeun ka disebut Ki Buyut Entol hartina getol.
Di Kampung Parumasan aya salah sahiji sumber cai atawa sirah cai nu lumayan gede tug aya mangfaatna keur masarakat. Dina hiji poe sirah cai teh saat ngadadak, Ki Buyut Entol kaget ningali cai saat terus, ku anjeuna ditingali ka jero liang cai.
“Naha liang cai saat?” Ceuk Ki Buyut Entol, diteang ka jero teh aya batu nu ngahalangan mendet liang cai. Teu karasa Ki Buyut Entol ngomong sorangan.
“Paingan ieu nu nyababkeun cai saat teh” Nya nepi ka kiwari eta sirah cai nu aya di Kampung Parumasan Desa Paseh Keler teh diaran an “Cipaingan”.
Didugikeun ku: Ariska (SMK Maarif 2 Sumedang, Kls. TKJ)
Diaping ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : BP. Tedi Rudiana
Padumukan : Parumasan
TTL : 03-08-1965
Pakasaban : Skretaris Desa










ASAL USUL CIKOPEAH (BOJONG CIAKAR)

Jaman baheula aya hiji lembur nu can boga ngaran, kacaritakeun aya hiji aki-aki jeung anakna nu ngaran Kabayan. Si Kabayan baluweng basa aya nu nanya manehna cicing di mana?
“Kabayan, maneh teh urang mana?”
“Teuing atuh nya, ari urang cicing di mana?”
“Ah maneh mah maenya teu apal lembur sorangan, boa maneh mah anak meunang papalidan ti solokan” Ti dinya si Kabayan ngahuleng pikiranna baluweng.
“Na enya ari kami anak meunang papalidan ti solokan, akh tapi piraku rupa sakasep kieu beunang papalidan, rek ditanyakeun ka si Aki sugan we nyahoeun” Si Kabayan langsung indit nepungan akina. Tuluy gok we manehna tepung langsung nanyakeun maksudna.
“Ki, kuring rek nanya, naha heueuh kuring anak meunang papalidan di susukan?”
“Ari maneh ngomong teh ka mana bae, geus puguh maneh mah anak si Eha jeung si Juha” Tembal si aki.
“Naha atuh mun enya kuring anak bapa jeung ema tapi kuring teu nyaho cicing di mana” Si aki ngahuleng semu mikir, tapi pok manehna nyarita.
“Ah susah-susah teuing maneh teh Kabayan, sok palidkeun kopeah maneh nepi ka mana? Lamun kopeah maneh nyangsang berarti aranan ku maneh lembur teh ‘Cikopeah”
“Heug atuh aki ku kuring rek diturutkeun” Si Kabayan tuluy luncat muru ka walungan tuluy malidkeun kopeahna, tuluy dituturkeun da hayang nyaho eureuna di mana. Kopeah nyangsang pas di deukeut sawah (ayeuna disebut gang ita)
“Antukna kuring nyaho ngaran lembur kuring mun aya nu nanya teh moal disebut budak papalidan ti solokan, manehna ngaranan lemburna “Cikopeah”.
Dipedar ku: Siti Khodijah (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. Ap2)
Diatik ku :Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Ibu Cunengsih
Pakasaban : Ibu Rumah Tangga


ASAL MULA SIRAH CAI CIGOBANG

Cigobang hartina cai jeung pedang panjang, dina hiji poe aya saurang nonoman nu keur ngasah pedang deukeut cai. Saking ku seukeutna eta pedang jadi dinamian pedang gobang. Saanggeus diasah eta pedang gobang dicobaan ditanclebkeun deukeut sirah cai, pas rek dicabut eta pedang ku si jajaka henteu bisa kacabut deui.
Sabab geus baluweng si jajaka teh ngayakeun bewara. Sing saha nu bisa nyabut eta pedang satengah kakayaan eta nonoman rek dibikeun. Harita loba pisan jelema nu miluan bewara eta.
Sanggeus kabeh nyobaan nyabut bari jeung teu hasil, datang hiji aki-aki nu mawa bewara yen lamun aya jalma nu bisa nyabut eta padang tangtuna bakal aya mamala nu gede tumiba ka eta kampung, atuh nepi ka ayeuna eta pedang masih nancleb di sirah cai eta. Atuh eta lembur teh diaranan “Cigobang”. Ieu sasakala teh kacida ahengna nepi ka ayeuna can aya nu bisa nyabut gobang di sirah cai eta, lantaran kitu urang kudu inget yen sagala kaahengan datangna ti Allah kalawan eta teh geus kersa mantenna. Kun fa Yakun, mun ceuk Allah jadi tangtu bakal jadi.

Dipedar ku: Windy W (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. TKJ)
Diaping ku :Lilis L.Rustandhi
Narasumer: Wasta : Ibu Enung
TTL : 12 Oktober 1965
Padumukan : Cigobang









ASAL USUL LEMBUR CIKADAL

Basa jaman kapungkur di lembur Nanggerang teh aya nu disebut Cikadal nyaeta mangrupa cai tempat marandi rahayat lembur. Disebut Cikadal alatan anu ngageugeuhna kadal meteng nu ayana di tangkal caringin, jadi dugi ka ayeuna kalandih “Cikadal”.
Dina jaman kapungkur waktos jaman penjajahan sepuh baheula mun bade angkat perang sok diangir heula di Cikadal, saurna teh uih perang sok salamet jeung tara katenjoeun ku musuh. Dugi ka ayeuna ge sok aya jalmi salangkung nu liwat eta tempat sok nyasab kasasar cenah poekkeun jalan. Jadi mun ngalangkung ka lebah dinya ulah sok seueur ngalamun tapi kudu loba babacaan. Sawates kanyaho jalma moal bisa ngaleuwihan kanyaho nu maha kawasa ngeunaan alam gaib, ku kituna urang ulah kabobodo ku bangsa jin anu ngabalukarkeun jadi musrik. Alatan kitu urang kudu yakin yen sagala pitulung milik Allah, bagja jeung cilaka geus katangtuan Allah nu penting urang kudu manteng nyuhunkeun jeung masrahkeun ka Anjeunna.
Dipedar ku: Indah Cahyani (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ap2)
Diaping ku: Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Ma Epoy
TTL : Sumedang, 19 Januari 1958
Padumukan : Nanggerang Joglo
Pakasaban : Ibu Rumah Tangga










ASAL USUL CIBEUREUM

Dina jaman baheula aya bangsa Walanda nu ngajajah ka wewengkon Cimalaka, tentara nu aya di dinya teu cicing harita tetep nekad hayang ngalawan jeung mertahankeun ku sagala cara sangkan nu ngajajah bisa ingkah di eta lembur.
Bangsa Walanda nu kasohor loba senjata canggihna terus wani ngusir rahayat nu aya di dinya. Tentara ge rada gimir sabab teu boga senjata nu model bangsa deungeun. Harita mimiti kadeseh bangsa pribumi teh tapi tetep hayang terus maju keur mertahankeun lembur panganjrekan.
Satekah polah terus tentara jeung rahayat mertahankeun kameunangan najan geus mimiti saeutik anggotana. Tapi ku cara gotong royong tetep boga kayakinan bakal meunang. Bangsa Walanda nyieun tempat serangan di daerah walungan dumeh maranehna mikir supaya gampang malidkeun mayit-mayit nu areleh dina peperangan.
Dina nyatana bener harita rahayat jeung tentara bangsa pribumi perang jeung Walanda di deukeut eta walungan nu geus jadi saksi sajarah gugurna pahlawan bangsa. Di walungan wewengkon eta loba mayit nu dipalid-palidkeun, boh mayit tentara pribumi oge mayit bangsa Walanda sorangan. Harita geunjleung walungan nu aya di wewengkon eta teh caina beureum kacida nyaeta getih jelema mangratus-ratus nu galugur. Ketir memang kajadian eta teh pikawatireun mayit nu dipiceun kitu wae ka walungan, atuh eta walungan teh teu saat-saat ku cai na nu beureum dina waktu harita. Nelah we walungan jeung wewengkon sabudeureuna teh lembur “Cibeureum”.

Diserat ku : Elis Suryani (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. Ap2)
Diatik ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta :Bp. Amin
TTL : 20 Agustus 1938
Pakasaban : Wiraswasta






ASAL USUL RANCAPURUT

Dina hiji lembur baheula aya sesepuh nu jenengana Aki Suwarta. Aki Suwarta teh sok ngadamelan peuyeum tina sampeu, teras diiderkeun ku anjeuna. Salian ti ngadamelan peuyeum sampeu anjeunna sok ngawurukan ngaos ka barudak, oge ngiderkeun peuyeumna teh ka unggal lembur.
Upami nuju ngider inyana sok ngiuhan di hiji kebon, di eta kebon teh aya ranca. Atuh dina ranca eta teh aya tangkal purut nu ditancleban ku Pangeran Wiratmadja. Aki Suarta kasohor pisan nepi ka anjeunna pupus peuyeumna tetep kasohor. Lami-lami eta lembur teh dinamian lembur Rancapurut sabab aya tangkal purut dina ranca.

Didugikeun ku : Risma Hanifa (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. Ap2)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Ibu Onah
TTL : 9 Juli 1931













DESA CIBUNUT

Desa Cibunut nyaeta nama desa anu ku abdi dicicingan. Eta desa pangna disebut desa Cibunut teh kusabab aya dua tangkal nu kacida ageungna, nyaeta di palih kulon sareng di palih kaler. Aki Suhadma nyaeta pupuhu jaman kapungkur anu masihan nama tangkal bunut ka eta tangkal, kusabab tangkalna aya dua janten anu palih kaler disebat Cibunut hiji sareng Cibunut dua anu palih kulon. Dina wates Cibunut hiji sareng Cibunut dua aya balong nu lega tur jero pisan, di gigireunna aya bak pamandian.
Dina hiji poe aya prajurit nu datang ka eta lembur numpak kuda perang nu gagah, eta prajurit teh cenah kasasar ka lembur Cibunut. Atuh sesepuh nu jenengan Pa Tatang ngangkir anjeuna ka bumi kanggo reureuh. Eta prajurit sawatara lila reureuh bari milu ngamandian kuda di balong nu jadi wates Cibunut hiji jeung Cibunut dua.
Waktu kuda dibanjuran eta kuda tigubrus ka balong anu lega tur jero, bakating ku gagahna eta kuda teh hese dibanyatkeunna, kuda teh tilelep nepi ka paehna. Tisaprak kajadian harita eta lembur wates Cibunut hiji sareng Cibunut dua teh katelah lembur Cikuda.

Didugikeun ku :Selvy Ratna Fatmawati (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. Ap2)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Nini Sumiati
TTL : 13 Februari 1928
Pakasaban : Ibu Rumah Tangga








CIPELANG BELENDUNG

Nyukcruk galur ti karuhun mapay carita kolot baheula di hiji lembur nu singkur aya hiji carita di eta lembur teh aya hiji tangkal belendung anu kacida gedena. Nurutkeun carita saking gede-gedena eta tangkal teh nepi teu katangkep ku dalapanan jeung nu anehna ti tangkal eta samangsa-mangsa jalma nu anyar mun ngadeukeutan eta tangkal balik ka imahna pasti gering.
Ku masarakat eta tangkal dianggap karamat, nepi ka ahirna dijadikeun tempat tapa. Tapi ku tokoh agama nu teu percaya tahyul tangkal eta dituar jeung saeunggeusna dituar sok loba kajadian nu aneh. Jadi sanajan tangkal belendung geus dituar nepi ka kiwari katelahna lembur eta Desa Cipelang Belendung Kacamatan Ujung jaya.
Ari ngaran Cipelang mah dicokotna dina carita yen di eta lembur aya walungan nu ngemplang tara saat najan katiga sabab sirah caina langsung ti suku Gunung Tampomas. Salaku muslim urang ulah kapangaruhan ku hal-hal nu ngarah kana sifat musrik, urang ulah nganteur kana sagala kahayang jin kapir nu nyeret kana kamusrikan. Lamun urang geus yakin saeutik-saeutik mupus kapercayaan nu matak sasar InsyaAllah moal aya balai atawa mamala ka diri urang.

Didugikeun ku : Aristantya (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ak1)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta :Ukik Sukaesih
TTL : Sumedang, 03 Desember 1972
Pakasaban : Guru
Padumukan : Cipelang Belendung-Ujung Jaya







BABAD DESA JATIHURIP

Sateuacan aya nami Jatihurip, kapungkurna Jatihurip teh mangrupa leuweung anu pinuh ku tatangkalan nyaeta tangkal awi jeung lolobana tangkal jati. Kapungkurna aya hiji nini-nini jeung aki-aki katut incuna anu nyicingan leuweung, imahna dijieun tina awi atawa bilik.
Hiji poe incuna milarian suluh ka leuweung, budak teh ningali tangkal jati nu gede tur jangkung. Najan asa-asa jeung sieun eta budak ngadeukeutan tangkal jati. Tuluy nyaritakeun ka lanceukna lalakon nu kapanggih di leuweung, antukna lanceukna nyindekeun yen eta tangkal awi teh geueuman, lalakon eta nepi ka nini jeung akina, jadi we teu aya nu wani ngadeukeutan tangkal jati.
Teu lila ti harita aya gempa atawa lini ceuk urang lembur mah nu balukarna ngaruntuhkeun tangkal jati nu geueuman tea. Tapi sawatara bulan ti harita jadi deui tangkal-tangkal anu laleutik nu bakal pijadieun tangkal jati anu neruskeun tangkal jati nu rungkad tea. Atuh katelah we eta tempat teh “Jatihurip”, nu asal kecap dina tangkal jati jeung hurip nyaeta tempat pijadieun jati.

Dipedar ku: Siti Juariah (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ak1)
Diaping ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Ibu Enar
TTL : Sumedang, 04 Desember 1937











BABAD DESA CACABAN

Sasakalana bet diaranan Cacaban teh kusabab pas rek dimekarkeun ku sesepuh eta lembur nyaeta Bapa Nurjati sagala rupa widang nu aya teh cacad wae, teu ngajalur jeung sagala kagiatan teh tara manjang. Kusabab kitu eta desa teh diaranan “Cacaban”nu hartina cacad wae.
Tapi lamun widang elmu agama lolobana di Desa Cacaban alatan loba pasantren gede jeung TPA-TPA nu ayana di Cipicung jeung Cikawung.
Harita para sesepuh pernah badami sangkan Cacaban diganti aran, sugan ku diganti aran sagala widang anu dimekarkeun teh moal cacad wae. Salah sahiji conto Desa Cidempet, baheula eta desa teh teu maju usahana alatan ngarana Cidempet sagala widang nu dimekarkeun teh ngan kadempet wae. Tapi tisaprak diganti aran ku Cibeureuyeuh nu hartina ngeureuyeuh eta desa teh jadi maju usahana jeung sagala widangna lancer.
Ku kituna aya salah sahiji sesepuh nu ngusulkeun Cacaban diganti aran ku “Sindang Sono” anu hartina ngarah kabeh jalma nu datang ka eta desa teu bosen jeung sono wae. Tapi ngaran Sindangsono teu dipake alatan nu nyieun aran kabujeng puput yuswa, antukna anjeuna katelah Mbah Sindangsono nyaeta sesepuh Cacaban, nu antukna anger we aran desa teh Cacaban. “Naon atuh hartina hiji ngaran? Saestuna eta sugesti nu make, mun urang percaya alatan hiji ngaran bisa nyieun parobahan kaayaan tangtu bener aya balukarna tapi mun urang nanggapina biasa-biasa tinangtu teu karasa nanaon. Eta balik deui ka diri urang! Tapi perlu diinget yen memang aran teh bisa jadi symbol jeung du’a perlu diemutan jeung itungan nu bener ulah sabulang bentor utamana mere ngaran budak eta teh bisa jadi Du’a ti kolot nu mere aran, tapi garis nasib mah tangtos Allah nu uninga”.
Dipedar ku : Nia Sonia (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls Ak1)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Bp. Rastani
TTL : Sumedang, 2 Pebruari 1928
Padumukan : Ds. Cacaban Rt.06/02





LEGENDA TALUN

Basa jaman peperangan di Sumedang aya hiji batalyon tentara ngarana batalyon sebelas april anu ayeuna jadi ngaran jalan. Tentara sebelas april neangan tempat keur nyumput ti penjajah Walanda. Padahal proklamasi geus dibewarakeun tapi Sumedang masih keneh dijajah
Markas tentara sebelas april mimitina nyaeta di wewengkon Prabu Geusan Ulun, teu kungsi lila markasna kapanggih ku Walanda terus dibom, tentara sebelas april baluweng kudu nyumput ka mana? Sabab hiji hiji pasukan geus mimiti galugur ku Walanda. Terus Letnan Warsono komando ngusulkeun nyingkir ka hiji wewengkon nu ayeuna katelah “Panyingkiran”, tapi salah sahiji tentara aya nu hianat jadi mata-mata dibejakeun ka pasukan Walanda.
Kocapkeun tentara sebalas april dauber-uber alatan penjajah hayang ngawasa Sumedang. Letnan Warsono nyerah tur pasrah kana kaayaan. Namung aya hiji nonoman nyaeta Kyai mere beja tempat nu aman jeung aristirahat nyaeta wewengkon Nalun anu artina ngagarunduk atawa ngarumpul. Tapi ku warga pribumi ti baheula diganti jadi “Talun”hartina tempat ngumpul nyaeta ngumpul bala tentara sebelas april. Dugi ka ayeuna wewengkon Talun jadi tempat ngalumbara.

Dipedar ku : Atin S (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Pm)
Diaping ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Bp. Entis
Padumukan : Talun-Sumedang Utara









JALAN PAGER BETIS

Pager betis nyaeta ngaran salah sahiji jalan nu aya di kota Sumedang, merenahna ngan sababaraha ratus meter ti pusat kota, kaasup wewengkon Sumedang Selatan. Wates jalanna ti kelurahan Cipameungpeuk dugi ka tungtung Citengah.
Pangna eta jalan diaranan Pager Betis sabab wewengkon eta teh baheulana pernah dijajah ku D.I(Darul Islam). D.I teh gorombolan nu pagaweanna ngarampog harta banda rahayat nu datangna ti wewengkon Garut. Rahayat sangsara pisan dijajah ku D.I teh, naon bae anu dipiboga ku rahayat pasti dibawa teu meunang ulah. Pare, beas, pakean, ingon-ingon dibawa kabeh teu meunang nyesa, leuwih-leuwih jalma ge disiksa bebeakan jeung imahna diduruk. Komo lamun gorombolan eta manggihan jelema nu miboga baju hejo atawa loreng langsung wae digorok. Ieu lain ukur dongeng nyata kalawan ketir kajadianna, salah asup gorombolan teh nyalindung kana ngaran Islam, salaku muslim sabenerna era jeung teu ridho ngaran Islam digorengkeun ku Darul Islam.
Beuki lila rahayat ambek kana lalakon eta gorombolan teh. Terus rahayat ngayakeun gerakan pager betis jangeun ngalawan D.I, anggotana loba rebuan urang lalaki teu kolot teu ngora, nagn awewe mah teu dimeunangkeun. Serangan D.I dihadang ku benteng perlawanan nu diaranan pager betis. Ti harita D.I teh dilawan ku rebuan rahayat di tempat eta nu antukna D.I ngaku eleh katut baralik deui ka lemburna nyaeta wewengkon Garut. Diaranan Pager Betis pikeun nginget perjuangan pejuang baheula nu loba jasana ngelehkeun gorombolan, hartina pager nyaeta wates tempat/nu ngawatesan atuh betis bagian dina anggota awak nyaeta wetis/bitis.

Diguar ku :Desca Ulfa Pengestika (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. TKJ)
Diaping ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Yaya S.
Yuswa : 108 th
Pakasaban : Kuncen Makam Ciawi
Padumukan : Dsn. Ciawi – Gunasari RT04/04 Sumedang




SASAKALA MAKAM DEYEUH LUHUR

Asal muasalna teh Pangeran Prabu Geusan Ulun masantren ka Nagara Bagdad, samulihna ti Bagdag inyana ngawengi di Karajaan Cirebon salami sasasih. Raja Cirebon harita Syarif Hidayatullah geureuhna nyaeta Ratu Harisbaya. Ratu Harisbaya teh seleresna kantos tepang sareng Prabu Geusan Ulun saacan dipigarwa ku Raja Cirebon, nyaeta waktos sami-sami nyukcruk elmu masantren di hiji padepokan, saleresna ti kapungkur Harisbaya tos kapincut ku Geusan Ulun teh jadi cenah Cinta munggaran ngan inyana kabujeng ditikah ku Raja Cirebon.
Satiap nonoman pasti inget kana cinta munggaran jeung hayang nyoba muka deui lalakon poe-poe katukang nu ingetanna bisa ngarubah kaayaan dina hate tur nyieun rasa kaendahan nu geus kalarung sajeroning hatena” ceuk Kahlil Gibran. Kanyataan eta nu matak Harisbaya hayang ngiring ka Sumedang alatan anjeuna teu bisa mopohokeun ka pangeran gandang ti Sumedang. Mun teu dicandak inyana bade nelasan pati.
Harita Prabu Geusan Ulun baluweng, badanten sareng Eyang Patih Jaya Perkasa, antukna daripada nelasan pati eta puteri geulis dicandak ka Sumedang katut dipigarwa. Ku alatan kitu Raja Cirebon ngajak perang tur nyerang Karajaan Sumedang. Harita Karajaan teras ngalih ka Dayeuh pamunduran nu katelah Dayeuh Luhur nu hartosna puseur kota karajaan nu aya di mumunggang gunung, atuh tempat ngadeg Eyang Jaya Perkasa waktos ningal musuh ti Cirebon katelah “Gunung Pangadegan”nu ayeuna jadi SMUN 2 Sumedang.
Tisaprak harita nu bade ngajugjug ka Dayeuh Luhur ulah nganggo raksukan Batik, alatan batik mangrupikeun buatan asli Cirebon musuh bubuyutan kapungkur. Dugi ka ayeuna ge tara aya nu wantun lebet ka makam nganggo batik sabab numutkeun mitos bilih hujan angin. “Saestuna urang angkat ka makam kanggo ngadu’akeun luluhur urang sanes nyuhunkeun nu lain-lain, atuh makam Dayeuh Luhur kudu dimumule sabab mangrupa situs jeung saksi sajarah Sumedang”
Dipedar ku : Tuti S (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ap2)
Diatik ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Bp. Aceng Hermawan
TTL : 20-06-1962
Pakasaban : Kuncen Makam Dayeuh Luhur
Padumukan : Dayeuh Luhur



BABAD DESA JALAKSANA

Aya hiji karajaan nyaeta Rajagaluh nu aya di Desa Rajagaluh. Karajaan eta teh aya dina kakuasaan Padjajaran anu dipingpin ku Prabu Siliwangi. Basa harita Syeh Sarif Hidayatullah nuju nyebarkeun Islam di Pasundan. Rajagaluh dipingpin ku raja anu sakti tur nganut agama luluhur baheula. Misi agama Islam sumebarna kucara damei, tapi di tatar Pasundan ngan Rajagaluh nu hese ditundukeun.
Saatos ngaislamkeun diri di Padjajaran, karajaan Cirebon ge dibebaskeun tina pajeg. Tapi pajeg masih lumaku di wewengkon Kuningan. Kanggo ngalaksanakeunna Prabu Siliwangi ngutus Prabu Cakraningrat ti Karajaan Rajagaluh. Nepi ka hiji mangsa Prabu Cakraningrat ngutus patihna nu namina Adi Pati Arya Kiban ka Kuningan. Tapi Adipati Kuningan nu namina Awangga nolak kanggo nyerenkeun pajeg. Pikirna dina ayeuna wewengkon Kuningan geus lebet ka wewengkon karajaan Cirebon jeung parantos ngabebaskeun diri ti karajaan Padjajaran.
Balukarna silih mertahankeun kacindekan sewang-sewangan duanana kalibet kana patarungan hirup jeung maot, dina tarung eta geus silih kerahkeun rebuan ajian jeung jurus tapi lebeng teu aya nu meunang teu aya nu eleh. Nepi ka ayeuna tempat patarungan eta teh kasohor ku ngaran “Desa Jalaksana” nu ngandung harti jaya dina ngalaksanakeun tugas.
Didugikeun ku : Rismawati A (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls Ak)
Diatik ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Bahroni Bin Mastar










SASAKALA NANGGERANG

Basa jaman penjajahan Belanda nu aya kana dua taunan leuwih kacaritakeun nini Onih nu ngalaman kajadian eta, inyana harita keur leutik keneh. Nini Onih ngalaman diudag-udag ku bangsa Walanda cenah, ceuk nini Onih sakur nu buukna pirang harita mah langsung ditembak wae da disangkana urang bule atawa ulang Walanda tea.
Saenggeus Walanda ngajajah wewengkon kampung Nanggerang, salian ti matak sangsara ka rahayat oge mere kauntungan keur masarakat kampung Nanggerang. Paninggalan jaman Walanda di kampung Nanggerang nyaeta:
1. Sasak gantung nu aya deukeut sawah nini Onih
2. DAM nu ayana di belah lebak
3. Jalan raya nu ayeuna geus ruksak tur jadi solokan jeung pasawahan
Salian ti eta Nanggerang pernah dijajah ku D.I nu matak nyangsarakeun rahayat lantaran kabiadabanna nyaeta wani ngarogahala rahayat jeung ngaduruk imah, rahayat matak sawan jeung soak ku kalakuan D.I, lila-lila rahayat bosen ku kaayaan kitu, harita ge nyieun rarancang rek meruhkeun D.I kujalan ngahijikeun tekad tur kawani. Nya ti mimiti harita D.I eleh ngalawan rahayat nu antukna marulang deui ka lembur asalna. Ti mimiti harita eta lembur diaranan “Nanggerang”sabab geus leupas dina jajahan bangsa deungeun jeung bangsa sorangan.

Didugikeun ku : Eli Nurhayati Kls.Ak1 jeung Farida Rochaeti Kls.Pm
(SMK Ma’arif 2 Sumedang)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi

Narasumber : Wasta : Ibu Onih
TTL : Sumedang, 1951
Padumukan : Dsn. Nanggerang-Mekarjaya Sumedang












SASAKALA KAMPUNG NANGGEWER

Dina jaman baheula aya hiji aki-aki anu sok ngalereskeun solokan atawa caii. Solokan eta teh digunakeun keur nu marandi jeung kukumbahan, tapi lain keur nginum da eta cai teh kurang beresih.
Si aki tukang menerkeun cai teh teu ngaharepkeun bayaran ti masarakat, hatena iklas hayang menerkeun cai atawa solokan unggal poe. Pas hiji poe basa keur mener-mener cai anu mendet manehna ka dinya aya cai nu bijilna dina taneuh ayana di sisi solokan tur caina mancur ka luhur. Atuh cai teh mungsrat ka luhur tur ka mana-mana jadi war wer wor, atuh si aki teh ngaranan kampungna “Nanggewer”, tah eta asalna ngaran kampung nanggewer teh asal dina kecap war wer wor nu sok palidna ka mana wae.
Kawitna mah kampung Nanggewer teh kalebet Padasuka nya ayeuna dibagi-bagi, Nanggewer ayeuna kaasup Desa Mulyasari

Didugikeun ku : Suci Kurnia azis (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Pm)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Bp. Dede
TTL : Sumedang, 20 Maret 1945
Padumukan : Nanggewer-Mulyasari























ASAL MULA LEMBUR PAJAGAN

Pajagan dina waktu perang jaman Belanda mangrupakeun tempat paranti ngajaga atawa penjagaan pejuang baheula. Para pejuang baheula lila jaga-jaga di eta tempat lantara eta tempat teh masih mangrupa leuweung geledegan jadi penjagaanna kudu ketat.
Bakat teuing ku lila caricing di eta leuweung, antukna eta leuweung penjagaan teh dibukbak tur nepi ka kiwari jadi pilemburan. Jadi Pajagan teh asal kecap dina tempat penjagaan. Eta lembur beuki lila beuki loba ngaran nu anyar, nyaeta Sukasono nu baheulana tempat sosonoan tur papanggihan, aya oge lembur Cisasak. Nambahan hiji deui lembur Sudah Patih.


Didugikeun ku : Intan Komala Dewi (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ak1)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi

Narasumber : Wasta : Hasan
TTL : Sumedang, 7 Mei 1955
Pakasaban : Patani
Padumukan: Dsn. Sudah Patih-Pajagan, Situraja




















SASAKALA LEMBUR TARIKOLOT

Kocapkeun carita aya hiji kulawarga anu kahirupan sapopoena dagang gorengan, dagangna teh meni kasohor nepikeun nu meuli ge tara kaliwat unggal poena. Tukang warung gorengan eta boga anak awewe anu geulis katelah di lemburna. Anak awewena ngajodo ka hiji lalaki anu kasep tapi jelema teu boga anu lemburna teu sabaraha jauh ti lembur warung nyaeta di Babakan.
Ari kolot awewena teu doaeun anak hiji-hijina kawin jeung lalaki nu teu boga. Tapi kusabab duanana silih bogoh jeung pikanyaah antukna maranehna kawin najan kolot teu doaeun ge. Hiji poe awewena hayang pindah ngilu jeung salakina ka Babakan, tapi kolot awewena teu ngajurungan ngumbara ka Babakan, jeung kolot lalaki ge teu ngajurungan ngumbara di lembur warung. Antukna kolot lalaki ngajurungan lamun budakna ngumbara di lembur warung tapi moal dianggap anak ku kolotna. Tah eta asalna ngaran lembur “Tarikolot”nyaeta ucapan kolot nu sakuduna diturut.
Atuh lembur babakan ayeuna disebutna “Babakan Warung” ari lembur warung nu ayeuna katelah “Tarikolot” tea.

Dipedar ku : Novi Anggraeni (SMK Ma’arif 2 Sumedang Kls. Ak1)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Amas
TTL : Sumedang, 7 Januari 1958
Pakasaban : PNS
Padumukan : Dsn. Tarikolot – Mekarmulya Situraja








SASAKALA LEMBUR KORED

Jaman baheula aya hiji karajaan anu rajana tos gaduheun putera, puterana isteri jadi we katelah puteri. Dina hiji waktos raja angkat ka hiji desa jeung kulawargana anu lumayan jauh ti karajaan. Pas bade uih puteri dipasihan kored ku rahayat di dinya lantaran puteri kataji ku eta barang.
Tapi di tengah jalan kored nu dicepeng nyalira ku puteri teh murag, jigana puteri jaman baheula mah kurang cocoan di karajaanna meureun. Harita teh atuh meni aheng kored teh make teu aya diteangan ku ponggawa teh, duka aya nu hayang ngaheureuyan ka puteri pokona ajaib we kored teh gara-gara murag kored ni teu kapendak.
Antukna puteri balik bari ceurik alatan hayang kored sementawis rahayat harita jarang nu bogaeun da kaasup barang langka, gara-gara kored jadi rame karajaan teh. Antukna eta lembur diaranan lembur “Kored”lantaran baheulana nareangan kored nu can kapanggih nepi ka ayeuna.
Dipedar ulang ku: Marni Nuralyani (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls.Ak1)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta :Ibu Idoy
Yuswa : 52 th
Padumukan: Dsn. Sukamunjul-Cibeureum wetan
Pakasaban : Ibu Rumah Tangga










SASAKALA KAMPUNG NANGKAPANDAK

Sasakala kampung Nangkapandak kapungkurna aya tangkal nangka nu pendek di wewengkon wetaneun kampung Nangkapandak. Jeung kapungkur mah mun aya nu muka warung di kampung Nangkapandak upami ditaros ku Kanjeng Pangeran kieu.
“Rame teu ngawarung teh?” Tanya Kanjeng Pangeran,
“ Ngan cekap kanggo tuang wungkul” Waler tukang warung di dinya.
Matak cenah mun nu ngawarung di Nangkapandak nepi ka ayeuna rame mah rame ngan untungna tara barokah. Dupina mah masih aya keneh kapercayaan pupuhu jaman kapungkur saciduh metu saucap nyata, pantes da jaman baheula mah jalma-jalma teh masih bareresih hatena jadi karuhun teh kalintang gede kanyaahna ka rahayat bener-bener teu mentingkeun diri sorangan jajauheun ti istilah korupsi, daek terjun sorangan nitenan kahirupan rahayat nu sanyatana, mun jaman ayeuna mah sidak/invensi mendadak tapi tetep dibarengan ku pangawal da rawan teroris.
Dipedar ku : Desi nurhayati (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. Ap2)
Diatik ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber: Wasta : Ibu Juariah
TTL : 24 November 1955
Padumukan: Dsn. Nangkapandak
Pakasaban : Ibu Rumah Tangga









LEGENDA WEWENGKON LEGOK UCI

Dina taun 1990an aya hiji kajadian di wewengkon nu katelah Legok Uci nyaeta harita aya bendungan cai di mumunggang gunung bitu anu caina ngalir ka paimahan rahayat di eta lembur. Terus cai teh ka handapeun gunung nepi ka jajalaneun.
Harita di jajalaneun aya mobil treuk anu narik keusik ngalangkung pas di ete jajalaneun, ku alatan cai nu asalna ti cekdam gede pisan jadi we treuk nu disupiran ku Bapa Uci teh kacandak palid ka walungan. Pa Uci ge teu bisa nyalametkeun dirina, nu antukna Pa Uci kabawa palid ka walungan dugi teu kapendak laratana. Nasib Pa Uci teh geus digariskeun ku Allah kitu, eta teu beunang dipungkir, saestuna urang kudu niatkeun ka mana wae, di mana wae tur iraha wae urang pasrahkeun diri urang ka Allah nu penting perjalanan urang niatkeun ngan ukur keur ibadah! Sabab kitu saalusna mun urang keur mawa kendaraan biwir jeung hate urang pantengkeun kana amalan poean sangkan salamet di jalan tur upami urang keuna ku ajal hate urang keur manteng ka Allah, mudah-mudahan maot urang Husnul khotimah. Amin..
Alatan kitu eta tempat kajadian teh katelah nepi ka ayeuna jadi ngaran tempat nyaeta “Legok Uci”lantaran supir nu cilaka ngarana Pa Uci.

Direka ulang ku: Yuli Fitriani (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. TKJ)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Yati
Yuswa : 45 th
Padumukan : Dsn. Kubang-Pamuliihan
Pakasaban : Ibu Rumah Tangga







SASAKALA KAMPUNG SUKANEGLA

Waktos kapungkur kampung Sukanegla teh namina Cibelentuk, alatan harita aya munding gede nu leungit ku bangsat tapi ditengah sakumaha ge teu kapanggih. Lantaran eta tanduk munding teh bisa dirubah-rubah, jadi we nu neangan teh teu weleh kakecoh. Jadi eta lembur ngarana Cibelentuk.
Tapi lila-lila ngaran Cibelentuk geus teu dipikawanoh tisaprak di eta lembur loba tangkal mahoni. Eta lembur teh dipinuhan ku tangkal mahoni balukarna jadi hieum tur teu katingali ka mana-mana, atuh rahayat di eta lembur aya niat nuaran tangkal mahoni nu aya di sabudeureun lembur.
Saenggeus dituaran eta lembur teh jadi negla katingali ka mana-mana, ka lebah kaler, wetan jeung ka lebah kulon jadi katingali. Tisaprak harita eta lembur diaranan “Sukanegla”, alatan titingalian di eta lembur asa nararegla.

Direka ulang ku : Cucu W (SMK Ma’arif 2 Sumedang, Kls. Ap2)
Dibimbing ku : Lilis L.Rustandhi
Narasumber : Wasta : Nono Karno
TTL : Sumedang, 6-10-1973
Pakasaban : PNS